Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Di Episode Cha Guan yang ke 6 bulan Maret kemarin, gue udah coba bahas mengenai betapa di Tiongkok sendiri kemajuan teknologi nya sudah tidak seperti yang kita bayangkan. Banyak sekali pencapaian dari segi penguasaan teknologi mereka yang entah itu pengembangan sendiri, hasil dari kerja sama riset, atau ya kalo yang kita bilang nyontek dari punya orang lain.
Tapi, di banyak kesempatan kita juga sering diberi tahu bahwa memodifikasi apa yang orang lain telah lakukan itu bagian dari inovasi. Karena tidak mungkin sebetulnya ada ide murni yang bisa menghasilkan suatu karya yang brilian, apalagi terakit dengan teknologi.
Misalnya teknologi gadget, itu semua berawal dari 1 merek yang memulai, baru diikuti oleh para pesaing yang kebetulan memodifikasi nya sehingga punya nilai-nilai yang lebih yang bisa ditawarkan ke pasar. iPhone aja misalnya, dia juga sebetulnya bukan yang pertama kali menawarkan konsep layar sentuh. Kalau jokesnya, sebetulnya layar sentuh itu sudah dipake sama orang Indonesia di warteg-warteg kan sudah cukup lama, jadi Steve Jobs sama Om Wozniak kayaknya perlu menjadikan merek Apple itu menjadi Apple Bahari. Ha ha ha.
Tapi misalnya teknologi layar sentuh, itu kalo ga salah yang menjual smartphone pertama kali ya IBM, itu di tahun 1994, namanya Simon, dan itu cuma bertahan produknya selama 6 bulan. Ini kalau menurut laman nya World Economic Forum di tahun 2018 pernah ada rilis soal ini.
Misalnya apa lagi, mobil listrik deh coba ya. Itu kalo ga salah juga bukan kerjaannya pabrikan Mamang Elon Musk kok yang pertama kali bikin itu. Adalah namanya William Morrison, orang Iowa, ga jauh dari Bojong Gede kan tuh, dia yang merilis pertama kali mobil dengan penggerak elektrik di tahun 1890an. Bahkan untuk teknologi penggerak motor listriknya saja, juga sudah ada pengembangannya sejak tahun 1859. Ya memang ini kata Wikipedia sih, tapi pernah ga baca? Ya kan. Kita kadang-kadang cuma kena hype nya aja sih, jadi seringnya malas untuk coba cari tau dulu gitu kira-kira awal mula nya bagaimana.
Apalagi ini yang berkaitan dengan teknologi ya temen-temen. Di mana-mana, kita juga semua tau, bahwa teknologi itu egaliter, dia ga mandang suku, ras, agama, apalagi golongan. Kalau memang digeluti, dipelajari, diteliti dengan segenap kemampuan daya pikir, ya pasti ada gagal nya ada suksesnya nanti. Banyak lah ahli-ahli yang mau itu dari zaman para peneliti Islam, atau abad Renaissance, atau setelahnya, itu kan mereka waktu pertama-tama sekali trial and error, pasti tidak berhasil.
Misalnya saja Da Vinci, yang kalo kita liat dia sebetulnya itu apa sih? Pelukis juga, saintis juga, pematung juga, tapi arsitek dan engineer juga. Tapi ya itu terkadang juga kan kalo kita lihat, justru waktu teknologi sudah sangat canggih begini, kita jadi apa? Udah jadi orang belum? Produktivitas makin naik atau malah makin turun? Kadang-kadang elu-elu nya juga sih yang pada terlenakan sama teknologi. Ada teknologi bagus, malah buat bahan gibah, malah buat ngejulidin orang. Berarti kita sendiri yang kayaknya ga butuh teknologi kan.
Di Episode ke 6 Cha Guan kemarin gue ada bahas sedikit soal teknologi antariksa. Iya, makin ke sini memang perkembangan sains dan teknologi terkait dengan perlombaan keantariksaan juga semakin menarik ya.
Kita bahas Indonesia nya dulu deh. Karena biar kita juga tau kira-kira seberapa besar usaha yang harus kita lakukan sehingga pencapaian teknologi keantariksaan Indonesia juga paling tidak bisa sejajar dengan negara-negara tetangga, baru misalnya sejajar dengan Tiongkok, Rusia, maupun US.
Indonesia sendiri sudah membentuk sebuah lembaga yang memang dikhususkan untuk membidangi hal-hal yang berkaitan dengan keantariksaan, teknologi penerbangan, roket dan satelit, dan lain sebagainya yang spesifik di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional atau LAPAN. LAPAN sendiri sudah berdiri sejak tahun 1963 melalui Kepres nomor 236. Bayangkan tahun segitu lho. Padahal misalnya Malaysia dan Thailand, mereka baru resmi punya badan antariksa nya di tahun 2002, Tiongkok sendiri misalnya, juga baru punya di tahun 1993. Kalau NASA sendiri ya sudah lebih lama ya tahun 58 kira-kira.
Artinya, sebetulnya cita-cita dan visi para ilmuwan dan pada waktu itu Bung Karno terkait dengan Indonesia harus memiliki kemampuan untuk menguasai teknologi keantariksaan bisa dibilang cukup luar biasa. Dengan banyaknya isu seperti ekonomi, gejolak politik, administrasi pemerintahan, kemiskinan dan isu-isu sosial lainnya, tapi Bung Karno mengeluarkan Kepres itu bisa dibilang sedini mungkin. Hanya saja memang dalam perkembangannya, seperti kurang greget gitu ya.
Memang, kalau kita berbicara lembaga seperti LAPAN, cakupan kerja nya luas sekali. Dari hal yang berkenaan dengan penelitian murni, penginderaan jarak jauh, pengembangan teknologi roket, pengembangan teknologi pertahanan, sampai hal-hal yang berkaitan dengan modifikasi cuaca dan kebencanaan juga menjadi gawangan dari LAPAN itu sendiri. Dan tentu dalam prakteknya LAPAN juga berkoordinasi dengan berbagai stakeholder mulai dari akademik, Kelompok / Lembaga pemerintah yang lain, hingga TNI.
Dalam dokumen Renstra LAPAN tahun 2020 – 2024 kita bisa melihat bahwa sudah banyak hal yang sebetulnya LAPAN lakukan. Dalam hal pengembangan roket, pesawat nirawak, hingga bagaimana kerja sama dan akuisisi satelit-satelit yang notabenenya punya agensi antariksa asing juga ada di situ.
Dalam dokumen Renstra tersebut juga sudah dituliskan 8 poin hambatan dan permasalahan penyelenggaraan penerbangan dan antariksa nasional. Ada hal-hal yang sifatnya ketiadaan regulasi dalam negeri kita sendiri, ada yang terkait dengan ketergantungan bahan baku yang sampai saat ini masih harus diimpor, juga terkait dengan masih sulitnya kolaborasi antar para pemangku kepentingan.
Namun, dari segi persepsi masyarakat terhadap kebidangan astronomi serta penguasaan teknologi antariksa di Indonesia sendiri juga masih kurang peminat ya. Padahal menurut GNFI, Indonesia sudah punya 6 observatori dan planetarium, yang diharapkan bisa menumbuhkan minat sedini mungkin terhadap hal-hal yang berkenaan dengan ilmu-ilmu astronomi dan keantariksaan. Kalo gue sih menyarankan perbanyak aja badan atau lembaga negara bidang astronomi dan keantariksaan, dengan status pekerjaan PNS. Pasti banyak orang tua yang mendorong anak-anaknya untuk jadi PNS bidang itu. He he he.
Menariknya, menurut jurnal yang ditulis oleh Yanuar Reza Wardana dan Ika Riswanti Putranti dari Departemen Hubugan Internasional FISIP Universitas Diponegoro, para penulis membahas terkait dengan Investasi Bandara Angkasa/Spaceport dalam Mewujudkan Indonesia Sebagai Spacefaring Nation Studi Kasus Kerjasama Indonesia dan Tiongkok. Di jurnal itu ditulis bahwa, dan gue sendiri juga baru tau soal ini, Indonesia dan Tiongkok pada Oktober tahun 2013 setuju menandatangani perjanjian kerjasama tentang Eksplorasi dan Pemanfaatan Ruang Angkasa untuk Tujuan Damai. Agak panjang ya memang namanya, waktu itu berarti masih jamannya Pak SBY ya.
Masih menurut jurnal itu, sebetulnya kerjasama Indonesia dengan Cina dalam hal keantariksaan bisa dibilang sudah secara resmi terhubung, yaitu ketika didirikannya APSCO (Asia Pacific Space Cooperation Organization). Negara-negara yang terhimpun di situ ada 8, yaitu Indonesia, Tiongkok, Thailand, Iran, Mongolia, Pakistan, Peru, dan Bangladesh. Hahaha, ini organisasi pokoknya anti US club, HQ nya aja ada di Beijing. Ini gue pribadi baru tau juga.
Tiongkok sendiri juga tertarik untuk bekerja sama dengan Indonesia untuk mengembangkan stasiun peluncuran roket seperti di Biak atau di Morotai. Namun, kayaknya kalau program penentuan ini masih tunggu dari political will elit ya. Kalau tidak ada political will memang agak sulit untuk merealisasikan sesuatu, apalagi industri keantariksaan tentu membutuhkan anggaran yang tidak sedikit.
Kembali soal Cha Guan episode 6 lalu, gue udah menyampaikan bahwa Tiongkok sendiri sudah pernah melakukan peluncuran roket sebanyak 407 peluncuran, sekarang malah sudah 425 peluncuran, dengan tingkat kesuksesan sebesar 95,8%. Itu kalau menurut Wikipedia kalo kita bisa cek. Rata-rata yang diluncurkan adalah satelit komunikasi, navigasi, cuaca, dan untuk penginderaan bumi. Karena Tiongkok sendiri masih dalam progres pembangunan tanpa henti, dan memiliki cakupan wilayah daratan yang sangat luas, tentu membutuhkan penginderaan yang sangat banyak.
Dengan pendirian yang mengedepankan kemandirian industrinya, banyak dari industri keantariksaan Tiongkok merupakan hasil pengembangan dalam negeri mereka sendiri, khususnya untuk keluarga roket dengan nama Long March. Pun berbagai macam satelit orbit rendah juga bisa dibuat sendiri secara domestik. Walaupun mereka juga tentu memiliki tujuan untuk tidak hanya produksi, tapi juga menjual ke negara-negara yang memerlukan produk teknologi antariksa dengan harga lebih terjangkau.
Cita-cita Tiongkok untuk memiliki stasiun luar angkasanya sendiri juga dicanangkan dapat bisa efektif dipakai pada akhir tahun 2022 ini. Menurut beragam pemberitaan baik itu dari Xinhua atau CGTN misalnya, berkali-kali Tiongkok juga menegaskan bahwa stasiun luar angkasa yang mereka kasih nama Tian-gong itu juga akan dikerjakan bersama-sama partner lembaga antariksa dari negara-negara lain. Ya mudah-mudahan nanti kedepannya kalau sudah siap, ada astronot asal Indonesia yang bisa berpartisipasi pada program stasiun luar angkasa Tian-gong itu.
Lalu perencanaan mereka untuk menggunakan roket daur ulang seperti SpaceX juga sedang dalam proses pengembangan dalam negeri. Tahapan-tahapan untuk mengembangkan teknologi probe atau penjelajah planet apakah itu ke bulan, planet Mars atau yang lainnya juga tidak kalah penting sedang dikembangkan Tiongkok.
Tapi ya tentu kalau terkait dengan stereotip barang-barang asal Tiongkok itu pasti ada. Tapi itu pun juga umumnya misalnya dari US sendiri sering karena gagal bersaing, maka pelabelan macam-macam dihembuskan. Seperti misalnya kasus Huawei yang diisukan bahwa perangkat mereka memiliki komponen penyadap. Atau ketika dulu akhir tahun 2019, BTS yang menggunakan komponen Huawei diisukan dapat menyebabkan kanker di UK, padahal Huawei pada waktu itu menjadi pionir untuk menguji coba teknologi 5G yang saat ini sudah lebih umum. Sampai-sampai ada tower Huawei yang dibakar karena ada isu hoax tersebut.
Atau misalnya lagi, NASA sendiri sampai saat ini belum mau bekerja sama dengan CNSA, badan antariksa nya Tiongkok. Isu seperti bahwa Tiongkok akan menjajah bulan juga kerap dihembuskan. Atau ya terkait dengan bahwa kualitas produk antariksa Tiongkok tidak layak untuk digunakan, dan lain sebagainya.
Hal ini sebetulnya dapat menjadi refleksi negara-negara berkembang lain seperti Indonesia yang tatkala akan gaspol untuk mengembangkan teknologi dalam negeri sendiri, jangan sampai dihembuskan isu yang macam-macam.
Misal saja teknologi biodiesel kan. Banyak dari negara Eropa yang nyinyir terkait teknologi itu, hanya karena mereka tidak mau pasokan minyak nabati non sawit terganggu oleh murahnya harga sawit asal Indonesia dan Malaysia. Padahal kalau pengembangan biodiesel bisa sampai tahapan praktis, tentu Indonesia bisa sedikit terlepas dari ketergantungan sebagai net importir minyak dunia. Tapi itu untuk industri sawit ya.
Indonesia sendiri sebagai salah satu pemain lama baik itu dalam aspek riset, pengembangan, dan rekayasa keantariksaan agaknya juga harus bekerja sama dengan pihak-pihak yang memang cengli. Jangan kita yang terus ngedeketin satu perusahaan di luar sana, tapi dari pihak mereka nya pun juga sok jual mahal gitu kan. Apalagi yang punya lagi rame mau dituntut Twitter karena kasih PHP ke mereka soal mau beli Twitter. Hehe, tapi itu urusan lain yak.
Menurut gue bottom line nya kepentingan nasional harus menjadi prioritas. Karena menurut artikel di CNBC bulan Mei lalu, nilai ekonomi untuk industri keantariksaan global pada tahun 2020 sudah mencapai 424 milyar USD, dan akan mencapai 1 triliun USD pada tahun 2040. Dengan kue yang sebegitu besar, tentu Indonesia harus juga kecipratan paling engga berapa juta USD dulu deh. Kalau memang belum mampu sendiri, kan bisa kerja sama dengan platform-platform kerja sama keantariksaan yang sudah ada, atau misalnya bisa bentuk aliansi baru yang lebih preferable, ga ada salahnya.
Tentu dengan geostrategi dan geoekonomi Indonesia, harus bisa diarahkan sehingga apakah itu yang berkaitan dengan kebijakan, pematangan rencana strategis nya, atau kesiapan pentahelix dalam industri keantariksaan dapat sebisa mungkin membawa kemakmuran untuk rakyat Indonesia secara luas.
LAPAN sendiri dalam hal ini juga sudah memiliki pegangan Perpres no 45 tahun 2017 tentang Rencana Induk Penyelenggaraan Keantariksaan tahun 2016 – 2040. Sehingga tinggal bagaimana perencanaan-perencanaan yang paripurna itu tidak hanya habis memakan tinta saja, bukan?