Seberapa Hepi Masyarakat di Cina?

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Mungkin adalah sesuatu yang absurd bagi kita masyarakat Indonesia yang biasa hidup relatif pada situasi nyaman, aman, dan tanpa tantangan untuk bisa memahami bagaimana kebahagiaan bisa diukur. Maksudnya, di Indonesia, paling tidak sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara dulu, praktis kehidupan Bangsa kita tidak sesulit Bangsa-bangsa lain yang misalnya hidup di daerah 4 musim. Dengan relatif kondisi cuaca di Indonesia yang cukup ramah, kecuali di Bekasi, karena biasanya matahari nya 2, menjadikan kenyamanan dan kebahagiaan adalah sesuatu yang given.

Sejak zaman dahulu kala Bangsa kita merupakan Bangsa pelaut dan agraris yang memiliki kelimpahan rezeki sumber daya alam yang tidak hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan perut masing-masing individu, tapi juga bisa menggunakan rezeki sumber daya alam tersebut untuk berdagang ke kerajaan atau tempat-tempat lain.

Namun, dibalik semua kenyamanan dan kebahagiaan yang timbul karena merasa bahwa kita tinggal di negara yang relatif nyaman, pasokan pangan melimpah, tanaman mudah tumbuh, ikan tinggal mancing, dan lain sebagainya, memiliki dampak laten yaitu pada indikator-indikator lainnya seperti etos kerja dan kegigihan. Walaupun gue ga akan bahas soal etos kerja dan kegigihan itu, cuma, hal ini bisa dibilang adalah fenomena mendasar yang kita semua juga bisa lihat apabila dibandingkan dengan misalnya orang-orang yang datang dari negara 4 musim.

Betapa tidak, secara subjektif hubungan antara kehadiran musim dingin dengan gagal panen di negara-negara yang mengalami musim dingin tersebut tentu membuat masyarakat mereka pada awalnya sangat tidak hepi. Mereka dipaksa untuk memutar otak dan bekerja lebih cerdas supaya mereka memiliki pasokan yang cukup untuk menghadapi musim dingin. Dengan pada dasarnya mereka tidak hepi terhadap perubahan suhu dan situasi iklim tadi, namun hal tersebut banyak membawa dampak positif pada sisi lainnya.

Temen-temen juga sering liat di media sosial atau video-video singkat begitu bagaimana orang-orang yang hidup di belahan bumi yang memiliki kondisi ekstrim ketika datangnya musim dingin. Ada yang harus ngerebus es untuk mandi, ada yang makan sayatan ikan beku, harus tidur dengan lapisan mantel yang sangat tebal, atau memancing ikan di tengah danau beku yang mereka harus bor dulu itu tebalnya es yang entah jaman dulu betapa sulitnya dilakukan.

Kreativitas dan kegigihan untuk bertahan hidup tadi tentu membentuk karakter dan kepribadian masyarakat Bangsa yang terbiasa untuk hidup dengan tantangan alamiah yang pasti datang setiap tahunnya.

Walaupun dengan rerata kondisi kehidupan masyarakat Indonesia tidak memiliki tantangan harus sampai ngerebus es untuk mandi dan lain sebagainya tadi, ini sedikit banyak menjadi PR bagi competitiveness kita di tengah-tengah persaingan global, ya walaupun secara kondisi kehidupan kita hepi.

Adalah World Happiness Report yang disusun oleh 6 orang ahli dari berbagai macam latar belakang pendidikan dan keahlian, merumuskan satu bentuk dokumen yang mencoba untuk mengukur dan menerjemahkan ke dalam angka, alias mengkuantifikasi, sehingga kebahagiaan yang kita pikir tidak bisa diukur, menjadi suatu sajian data yang sesungguhnya mencerminkan banyak hal.

Pada WHR tahun 2022, karena laporan WHR tahun 2023 nya belum keluar, menunjukkan secara berurutan negara-negara seperti Finlandia, Denmark, Islandia, Swiss, Belanda, Luksemburg, Swedia, Norwegia, dan Selandia Baru merupakan 10 negara teratas dengan indeks kebahagiaan tertinggi.

Aspek-aspek yang dijadikan penilaian dengan skala 0 – 10 pada WHR ini antara lain PDB riil per kapita, social support atau dukungan sosial dalam hal kebijakan, ekspektasi hidup sehat, kebebasan dalam mengambil keputusan hidup seseorang, kedermawanan, dan indeks persepsi korupsi di negara tersebut.

Hanya saja, WHR ini mungkin agak sedikit mirip kalau temen-temen sempat dengar yang namanya Gross National Happiness index atau GNH index. Bedanya, kalau yang GNH index itu murni prakarsa dari raja dan pemerintah negara Bhutan supaya intinya negara mereka tidak dinilai terlalu dari sisi ekonomi makro semata. Nah lho, pada tau ga Bhutan di sebelah mana nya Pekalongan? Hahaha.

Kalau indeks GNH nya Bhutan ada 4 pilar yang diukur, yaitu Pembangunan Sosio-ekonomi yang Berkelanjutan dan Merata, Pelestarian dan Promosi Kebudayaan yang Bebas dan Tangguh, Pemerintahan yang Baik serta Persamaan di Mata Hukum, dan yang terakhir yaitu pilar Keberlanjutan Ekologi.

Jadi udah jelas ya bedanya di situ.

Balik lagi ke WHR tadi ya.

Kalau peringkat 10 negara-negara dengan indeks kebahagiaan tertinggi tadi kita lanjutin sampe 20 atau 30, memang rata-rata kita akan menemukan negara-negara tersebut berasal dari Eropa atau Amerika Utara. Selain karena memang faktanya negara-negara tersebut adalah negara dengan PDB per kapita yang tinggi, satu hal yang menjadikan indikator kebahagiaan mereka moncer adalah karena rata-rata negara tersebut adalah negara dengan ideologi liberal.

Hal tersebut bisa terlihat apabila kita cek urutan WHR 30 terbawah, dengan yang paling bawah adalah Afganistan dan negara-negara yang notabenenya ada di Afrika dan Timur Tengah yang ditengarai bukanlah negara yang liberal. Selain memang negara-negara urutan WHR 30 terbawah itu juga merupakan mereka yang memiliki PR yang sangat banyak terkait dengan pengelolaan pemerintahan yang baik dan indeks persepsi korupsinya.

Nah, terus, gimana soal Cina dan Indonesia?

Secara subjektif gue, orang-orang di Cina itu sendiri engga bisa dibilang merupakan masyarakat yang hepi. Kenapa? Pertama, karena di Cina sendiri tentu banyak batasan-batasan. Misalnya soal media, kebebasan berpendapat, bikin konten, kritik pemerintah, dan lain sebagainya. Apalagi laporan WHR tahun 2022 itu sangat relevan dan menyoroti juga dengan parameter-parameter kompleks mereka antara kebahagiaan dengan pandemi Covid-19. Di Cina sendiri tentu masyarakat mereka sangat tidak hepi karena pendekatan pemerintah Pusat dan Daerah terkadang berbeda, di mana pemerintah Daerah mereka lebih sembrono untuk menerapkan lockdown, padahal di banyak kesempatan dari yang gue tau dari temen-temen juga, lockdown total udah engga terlalu diprioritaskan.

Tapi, sejak tanggal 8 Januari 2023 kemarin, karena juga dalam rangka mengantisipasi libur Imlek dan lain sebagainya, Pemerintah Cina melonggarkan secara maksimal kebijakan PPKM mereka.

Tentu hal ini ada hubungannya dengan kebahagiaan masyarakat di Cina sana. Dengan banyak pemberitaan lockdown yang bisa dibilang ekstrim, misalnya pemberlakuan lockdown dilakukan tiba-tiba, bahkan orang-orang yang ada di area perkantoran tidak diperbolehkan untuk sekedar pulang dulu ke rumahnya dan mereka harus menginap di kantor dengan pakaian yang menempel di badan. Coba aja lu bayangin itu baju apek nya kayak apa kan.

Kedua, selain hal yang sangat relevan terkait dengan pembatasan-pembatasan Covid-19 di Cina, sedari awal masyarakat Cina atau mungkin India, memiliki porsi persaingan yang lebih ketat dibandingkan kita yang mungkin saat ini populasi Indonesia berada di angka 270an juta orang. Dengan banyak nya populasi di Cina, tentu iklim kompetisi dalam hal pendidikan, pekerjaan, hingga asmara menjadi salah satu faktor subjektif membuat masyarakat mereka menjadi tidak hepi. Bahkan, saking tingginya iklim kompetisi mereka di sana, ya seakan derajat pria dan wanita di sana sama rata, tapi dari sudut pandang yang negatif. Dalam artian bagaimana? Ya laki-laki di sana jadi engga gentle, ga ada istilah ladies first atau bagaimana. Contoh yang paling sederhana misalnya soal rebutan tempat duduk di MRT atau bus umum aja deh. Ga peduli cowok atau cewek ya tarik-tarikan, dorong-dorongan, ga ada istilahnya mempersilakan perempuan mau muda atau tua untuk duduk duluan dan lain sebagainya. Ini sih cukup bikin gue kaget ya waktu awal-awal tinggal di Cina dulu.

Ketiga, karena pembatasan dan beban kompetisi yang luar biasa di sana, gue melihat hubungannya sama masyarakat Cina yang kurang hepi adalah bahwa mereka engga terlihat ramah dan cenderung sangat cuek. Ya kalo kita udah kenal orangnya, baru dia mau ramah sama kita, tapi kalau orang yang sama sekali tidak dikenal, ya boro-boro kayak kita atau di Jepang gitu, atau di mana yang saling negor dan lain sebagainya, ini ya cuek bebek gitu aja.

Cina sendiri di WHR tahun 2022 itu menempati urutan ke 72 di bawah Malaysia dan Bolivia.

Memang, ada beberapa faktor lain juga selain 3 faktor subjektif di atas. Misalnya terkait dengan tingkat polusi yang tinggi di kota-kota besar di Cina. Hal ini tentu membuat masyarakat alih-alih menikmati langit biru, awan putih, kayak di lagunya Sherina, eeeh ini malah asap kelabu dan mata perih. Tapi ini juga jadi PR masyarakat mereka sendiri untuk segera beralih ke kendaraan yang lebih rendah emisi atau full menggunakan transportasi publik.

Hal lain misalnya, alih-alih mau bertamasya ria di tempat-tempat wisata di Cina, eeeh yang ada malah lokasi-lokasi wisata itu ya isinya orang semua. Ini juga dampak dari besarnya populasi mereka. Makanya pemerintah Cina juga sedang meramu formula demografi yang pas, paling tidak Disneyland di Shanghai supaya bisa lebih dinikmati gitu. Ya lu bayangin aja apalagi kalau lagi liburan Imlek mereka atau 17 Agustusan nya versi Cina, itu yang namanya tempat wisata orang semua, boro-boro mau nikmatin pemandangan. Yang keliatan cuma kepolan iket rambut orang sama tongsis yang diangkat-angkat.

Atau misalnya hal-hal lain soal tingginya angka properti, karena banyak oknum pengembang yang seneng spekulasi, terus soal kemacetan, keamanan pangan, dan lain sebagainya.

Cuma, kendati demikian, karena PDB riil per kapita Cina sudah menembus angka 12 ribu USD lebih, ya mungkin orang-orangnya banyak yang kritik pemerintah nya mereka, tapi sambil nongkrong di resto yang kalo minta bill ngopi bisa abis berapa ratus ribu per orang. Artinya, walaupun memang secara subjektif dan objektif mereka punya keterbatasan dan perbedaan soal keluwesan beberapa aspek kehidupan, tapi secara per kapita PDB mereka 3x lipat lebih besar daripada kita di Indonesia, tetap aja dompetnya masih lebih tebel mereka.

Memang sih, kembali ke urutan 30 teratas WHR itu, rata-rata yang ada di angka-angka bagus itu negara-negara yang punya jumlah populasi sedikit. Misalnya aja tetangga kita Singapura yang bertengger di urutan ke 27. Walaupun yaaa kalau dibandingin ketawanya orang Singapura sama ketawanya orang Indonesia masih lebih keliatan hepi ketawa kita ga sih? Karena menertawakan diri sendiri juga, makanya lebih hepi, hahaha.

Untuk misalnya India, ada di urutan bontot nomor ke 136. Ya karena itu tadi ya, kesemua indeks ini memang kompleks ngukurnya, dan faktor berapa besaran populasi yang dikelola itu juga menjadi tantangan tersendiri, sehingga terciptanya angka-angka bagus dari parameter-parameter yang diuji.

Nah, kalau Indonesia, berada di urutan 87 di bawahnya Nepal dan Bulgaria. Not bad lah ya, walaupun kalo kita cek tetangga kita sawadikap, dia ada di urutan 61. Mungkin untuk sawadikap angka nya bakal lebih naik lagi di tahun 2023 ini, sejak pemerintah Thailand memperbolehkan penggunaan ganja untuk rekreasional dan medis. Hahaha, mungkin, kita liat aja. Ya ga tau emang ada hubungannya atau engga ya, tapi negara macam Belanda yang udah bebas banget nge gele di sana, dia ada di urutan ke 5 WHR ini.

Tapi, anyways. Karena ini Cha Guan, dan kalo ngomongin Cina dari sisi kebahagiaan mereka yang subjektif gue dan kebanyakan temen-temen lulusan Cina juga pernah rasakan, kondisi mereka memang tidak bisa dibilang hepi. Tapi kalo soal PDB riil per kapita, social support atau dukungan sosial dalam hal kebijakan, ekspektasi hidup sehat, kebebasan dalam mengambil keputusan hidup seseorang, kedermawanan, dan indeks persepsi korupsi, jelas Cina masih 15 level di atas Indonesia.

Leave a comment