Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Geliat pariwisata tanah air nampaknya sudah mulai kembali bergairah. Menurut BPS yang dikutip dari laman Kompas dotcom, selama Januari-Juli 2022 jumlah kunjungan wisman ke Indonesia mencapai 1.220.180 kunjungan, mengalami kenaikan 1.434 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang sangat menggembirakan, mengingat sektor pariwisata merupakan penyumbang 4,8% bagi pertumbuhan GDP Indonesia, paling tidak angka itu di tahun 2019 sebelum pandemi ya.
Dengan menunjukkan pemulihan paska-pandemi dan lonceng bahwa pandemi akan segera berakhir, geliat industri pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia pun juga berangsur bangkit. Betapa tidak, mayoritas penopang ekonomi riil di Indonesia masih merupakan hasil produksi dari UMKM, dan banyak dari kegiatan UMKM tersebut mengacu pada berapa besar jumlah wisatawan yang berbelanja ketika berwisata, baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara.
Gaung untuk berwisata di dalam negeri aja atau bangga menggunakan produk-produk UMKM terus digalakkan supaya spending yang dilakukan paling tidak oleh para wisatawan domestik bisa meningkatkan taraf hidup para pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia. Namun, salah satu pelajaran yang bisa diambil dari pandemi ini adalah kedepannya sektor UMKM yang terdorong dari pariwisata dan ekonomi kreatif harus bisa dirancang sebaik mungkin sehingga tidak langsung goyang karena krisis. Apalagi banyak prediksi memperkirakan bahwa tahun depan dunia akan masuk ke jurang resesi.
Namun, tentu dengan kedatangan para wisman ke Indonesia tentu akan disertai dengan perangai-perangai para “oknum” yang ketika sebelum pandemi biasanya mereka juga berulah. Ya walaupun kalau dalam bahasan ini, sebetulnya yang suka berulah di tempat-tempat wisata bukan hanya turis asal Cina saja kan, banyak lah, kita bisa Googling satu-satu. Tapi, spesifik untuk turis Cina, gue bermaksud untuk menyampaikan kira-kira bagaimana baiknya meng-handle wisman asal Cina.
Sebagai salah satu orang yang sebelum pandemi banyak berkutat pada pekerjaan yang project-based, gue dan rekan-rekan lainnya juga beberapa kali berkesempatan untuk meng-handle wisman asal Cina. Ada waktu itu yang mereka mau kunjungan misalnya ke Trade Expo Indonesia, melihat barang-barang yang bisa mereka impor ke Cina, misalnya sarang burung walet, mereka berminat sekali dengan produk itu, sambil mau lihat di lapangan rumah burung walet dan proses panen nya seperti apa, dan lain sebagai nya. Biasanya mereka yang datang dengan keperluan bisnis memang ga akan banyak menyediakan waktu untuk plesir di Indonesia, paling cuma mereka sisakan 1 hari aja untuk jalan-jalan.
Tapi waktu itu misalnya ada juga rombongan produser dan sutradara yang gue dan rekan-rekan fasilitasi kita bawa ke Borobudur dan Kawah Ijen misalnya. Mereka sangat tertarik untuk mencari lokasi shooting untuk garapan film yang mereka pikir secara latar belakang alam dan pemandangan sangat unik dan tidak bisa mereka temukan di Cina. Kawah Ijen tentu merupakan suguhan yang istimewa karena hanya ada 2 di dunia, di Islandia dan di Banyuwangi. Gue rasa engga hanya wisman dari Cina aja yang bakalan kagum sama pesona Api Biru dari Kawah Ijen. Perjalanan menyusuri lereng beberapa jam dari dini hari menuju bibir kawah juga mereka nikmati, dan terbayar dengan keindahan dari Api Biru yang ada.
Atau misalnya waktu itu ada juga rombongan kru film dari Cina lainnya yang gue dan rekan-rekan bawa ke Bali dan Banyuwangi juga buat cari spot shooting film yang ada tema hiu nya. Sampe rombongan kru film itu niat banget nyemplung di sekitaran Pulau Menjangan di Bali Utara sana dan ya cukup terkesima dengan keindahan bawah laut yang Indonesia miliki. Para kru semangat untuk bikin film bertemakan hiu, karena beberapa tahun yang lalu sebelum pandemi sempat rilis banyak film thriller soal hiu, misalnya The Meg, The Reef, The Shallows, 47 Meters Down, dan lain sebagainya. Ya mungkin karena pandemi, di laut juga ada PPKM kali ya, jadi praktis belum ada lagi rilisan film soal hiu. Dan ya project shooting waktu itu juga ditunda sampai dengan waktu yang tidak ditentukan.
Oke, kita kembali lagi ke soal pengelolaan wisman asal Cina kedepan.
Kalau menurut BPS, di tahun 2019 lalu, walaupun wisman asal Cina bukanlah yang paling hedon soal spending, yaitu di angka 1.100-an USD, tapi tetap saja volume dari kedatangan wisman asal Cina juga tidak bisa diremehkan. Di tahun 2019, masih menurut BPS ada sekitar 2 juta wisman asal Cina yang berkunjung ke Indonesia. Dibandingkan misalnya urutan pertama yang paling hedon soal spending yaitu turis dari Arab Saudi di angka 1.590-an USD, namun jumlah kunjungan wisman asal Arab Saudi ke Indonesia tahun 2019 hanya sejumlah 157 ribuan, tentu perbandingan volume yang cukup jauh.
Terkait soal volume dan angka-angka yang fantastis, mungkin beberapa sobat supreme di sini masih ingat di akhir tahun 2016 lalu sempat santer hoax bahwa akan ada kedatangan 10 juta TKA Cina yang menyerbu Indonesia. Padahal hal itu adalah target dari kedatangan wisman asal Cina hingga sampai tahun 2019, bukan impor stok TKA. Kenapa itu penting? Ya buat ente-ente yang tidak berkecimpung langsung atau hidupnya tidak dari sektor parekraf mungkin akan melihat nyinyir. Tapi bagaimanapun sektor parekraf mau tak mau berbicara volume, dan angka 10 juta sebagai target kunjungan wisman asal Cina pun juga sampai saat ini tidak pernah bisa tercapai.
Kenapa tidak bisa tercapai? Salah satu nya karena sobat supreme tentu bisa tau sendiri, ketimpangan dan tidak meratanya kualitas destinasi kunjungan di Indonesia yang memungkinkan misalnya wisman mau dari Cina kek, mau dari Arab kek, itu berkunjung lebih banyak lagi ke Indonesia. Kebanyakan Bali dan sekitarnya aja yang kalau kita juga tau anekdot ‘hidup kadang di atas kadang di Canggu’, menunjukkan kelemahan bahwa sektor parekraf kita belum lah merata. Akibatnya, banyak wisman yang ga mau nih gambling untuk pergi ke destinasi selain Bali dan sekitarnya. Sama lah kayak wisman Timur Tengah yang ga mau gambling selain ke Taman Safari Puncak, mana mau dia pergi ke Ragunan, ye kan?
Sehingga, menurut hemat gue, itu PR kita kedepan.
Soal pengelolaan dan handling wisman asal Cina juga menjadi penting. Ini bukan hanya soal kemampuan bahasa Mandarin yang harus ditingkatkan oleh segenap pelaku parekraf. Misalnya terkait dengan kepraktisan pembayaran juga harus segera dieksekusi, sehingga turis-turis asal Cina itu mereka yang sudah terbiasa cashless bisa tetap pake Wechat Pay dan Alipay ketika mereka kunjungan ke Indonesia. Buat orang-orang asal Cina, uang tunai itu udah merupakan hal yang kuno, seriusan. Jadi, agak ribet aja mereka kalau ke Bali gitu misalnya, eh, harus tuker uang lagi, harus pegang cash lagi, harus bawa pulang recehan Rupiah yang itu juga ga tau mereka pake nya gimana, ya kan?
Integrasi dan kerjasama API atau apalah itu namanya yang berhubungan dengan payment gateway itu sih gue rasa hanya soal eksekusi aja. Teknologinya udah ada kok. Dan di negara-negara tetangga udah ga masalah kok itu. Misalnya di Singapura, Thailand, Malaysia, udah bisa kok turis atau traveler asal Cina tetep pake Wechat Pay atau Alipay. Unsur kepkraktisan ini juga menjadi salah satu faktor penentu kunjungan, selain yang tadi ya, soal kemerataan kualitas destinasi.
Terkait dengan wisman-wisman Cina ini, sepengalaman gue dan rekan-rekan meng-handle mereka waktu kunjungan, dan ini yang cukup penting dan sering terlewatkan, adalah kita harus paham dulu bahwa masyarakat Cina itu adalah masyarakat pembaca. Artinya, ga semuanya kita mikir bahwa mereka sudah ngerti. Kalau seumpama rekan-rekan misalnya tour guide, atau di perhotelan, atau di destinasi sering nih nemuin ada aja kelakuan para oknum wisman Cina, itu karena ya kita masih pake mindset nya orang Indonesia, yang kebanyakan kita anggap, gitu aja kok harus dibilangin.
Tips nya bagaimana, memang paling efektif kalau dengan wisman asal Cina itu, kalau rekan-rekan punya 1000 hal yang ingin disampaikan, tuliskan lah 1000 poin tersebut dan sampaikan langsung kepada mereka di depan. Ini serius. Misalnya soal peraturan di kolam renang di hotel, pas lagi buffet misalnya ada do’s and don’ts nya, atau misalnya di pantai-pantai ada regulasi tertentu, atau di destinasi misalnya ada pajangan-pajangan yang ga boleh dipegang, dan lain sebagainya.
Kenapa? Karena ya tadi, ga semua yang kita pikir itu norma yang berlaku, itu dipahami oleh orang lain, bukan? Apalagi datang dari latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Untungnya masyarakat Cina itu umumnya kalo udah baca sesuatu, mereka itu akan ingat. Makanya kalau di Cina sana, jangan heran di destinasi atau di tempat-tempat publik, yang namanya poster atau spanduk himbauan yang kalau kita pikir ‘kok gitu aja harus dikasih tau sih’ itu banyak banget. Karena memang kebudayaan nya mereka begitu.
Dan, misalnya tadi ada 1000 poin itu, cocoknya memang disampaikan sebelum rombongan misalnya sampai ke Indonesia. Dan tentu harus disampaikan dalam Bahasa Mandarin ya.
Mungkin sudah ada di pesawat ya mengenai hal-hal yang harus diketahui oleh pelancong mancanegara mengenai norma dan regulasi hukum di Indonesia. Tapi bisa ditingkatkan lagi misalnya pilihan bahasanya tidak hanya dalam Bahasa Inggris, tapi juga Arab, Korea, Jepang, Mandarin, atau Esperanto misalnya. Hahaha, ada ga ya penutur Esperanto yang plesir ke Indonesia.
Jangankan terkait dengan do’s and don’ts ya. Wisman Cina itu banyak lah yang masih anggap kalo misalnya Bali itu bukan di Indonesia. Jadi, udah merupakan sesuatu yang wajar kalau kita merupakan host nya, kita tegesin ke mereka dari pas mereka pertama kali turun pesawat sampe naik ke pesawat lagi itu pelaturan di Indonesia itu begimana. Karena, kalo misalnya mereka udah sampe sini baru dikasih tau, ya ada aja kan alesan-alesan ga puas sama servis lah, dikasih bintang 1 lah, ga mau pake biro tour nya lagi lah, ngancem-ngancem ga jelas. Padahal kalau di mata norma dan peraturan, mereka yang salah.
Salah satu langkah ekstrim yang diambil oleh Pemerintah Cina soal ulah para oknum wisman nya di luar negeri adalah dengan pada tahun 2018 lalu sempet santer juga berita soal polisi-polisi Cina betulan, berpatroli di Roma. Karena Roma dan banyak destinasi di Eropa sana, merupakan tujuan prima dari wisman Cina. Polisi-polisi itu semata untuk membantu mengkondisikan selain karena volume, perbedaan kultur, dan ya orang Cina nurutnya sama polisi Cina lah, kira-kira gitu gambarannya.
Tapi ya mungkin wisman Cina yang ke Indonesia masih lebih kondusif, sehingga ga perlu sampe polisi-polisi Cina ikutan patroli di sini ya.
Soal lain, gue rasa rekan-rekan praktisi di lapangan lebih paham bagaimana meng-handle wisman mau itu dari Cina, dari Zimbabwe kek, atau bisa aja nanti ada wisman dari planet Mars. Soal preferensi mereka suka nya makan apa, minum nya apa, kenapa pada pake facekini dan topi-topi gede biar ga kena matahari, ah itu mah udah hapal lah ya. Ya lagian lucu aja itu turis-turis Cina. Doi ke Bali, yang udah jelas-jelas surga nya sinar matahari gitu ya, eeeeh dia kemana-mana bawa payung, topi segede-gede gaban gitu. Emang aneh-aneh aja ya kelakuan mereka.
Tapi ya semoga rekan-rekan yang bergerak di bidang parekraf bisa kembali bangkit dan menikmati kembali kunjungan wisman, apalagi ini ada perhelatan G20 Summit, tentu ajang yang besar, banyak delegasi yang datang juga, merupakan momentum yang baik.