Periode tahun 2025 ini bisa dibilang merupakan tahun yang kurang bagus bagi impresi atau kesan terhadap bagaimana kita bisa memproyeksikan generasi muda ke depan.
Pada pertengahan Oktober 2025 lalu, di Lebak, Banten ada kasus guru menampar anak yang merokok di sekolah, catat, di sekolah. Kalau yang bersangkutan memang merupakan Bang Jago yang sudah mirip ‘Dilan dengan steroid’, silahkan saja dia merokok di tempat tongkrongannya dengan teman-temannya, di tempat dia menyambi kerja (kalau pun iya), atau di tempat lain dan jangan di dalam atau lingkungan sekolah.
Pada September 2025 lalu juga begitu, di Prabumulih, Sumatera Selatan ada kasus guru yang menegur anak seorang pejabat setempat yang menyetir mobil ke sekolah. Lucu nya yang bersangkutan adalah perempuan. Yang notabenenya, seharusnya perempuan apalagi masih dalam usia sekolah, lebih penurut dan tidak begundal seperti layaknya laki-laki. Persoalan ini juga tentu terkait dengan gender, di mana secara umum ada perbedaan perlakuan dan cara berpikir antara laki-laki dan perempuan, apalagi masih terkategori sebagai anak sekolahan di Indonesia.
Kedua kasus di atas memiliki persamaan. Pertama, yang melakukan penindakan baik itu penamparan dan peneguran adalah Kepala Sekolah. Kenapa Kepala Sekolah? Sepertinya kasus yang menyangkut Bonnie and Clyde di atas sudah kadung sesuatu yang berulang. Saya percaya tidak ada guru yang akan berpikiran langsung main kasar terhadap anak didiknya tanpa peringatan-peringatan sebelumnya. Hanya saja, kuat dugaan, Bonnie and Clyde tadi seakan tidak menggubris peringatan-peringatan verbal yang sebelumnya sudah diberikan, malah terkesan menantang sistem ketertiban di sekolah. Akhirnya 2 Kepala Sekolah tadi terpaksa dinonaktifkan sementara, dan kemudian dikembalikan lagi ke posisinya.
Kesamaan ke-dua, kasus di atas sama-sama melibatkan pejabat yang tidak tau posisi dan konteks. Pada kasus Bang Jago perokok, ya memang melakukan penamparan itu tidak bisa diterima, tapi, apa iya? Apa sudah dilakukan pengecekan yang bersangkutan sudah sering merokok di lingkungan sekolah? Apa orang tua (Ibu nya) tidak malu kalau tau bahwa anaknya begundal dan tidak memiliki masa depan yang baik? (nanti akan kita kupas soal ini di bawah)
Kasus Bang Jago ini sampai menimbulkan reaksi kembar pada Gubernur dan Wakil Gubernur Banten yang sampai kompak memberikan pernyataan soal penonaktifan Kepala Sekolah SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten. Apakah 2 pejabat publik itu lupa bagaimana dulu beliau-beliau itu dididik keras di lingkungan sekolah dan keluarganya? Apakah 2 pejabat publik itu lupa bahwa pendidikan yang keras dan terukur itu akan membawa kedisiplinan kemudian hari, sehingga 2 pejabat publik itu bisa menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur? Apakah mungkin ada kepala daerah atau orang-orang yang mengisi posisi kepala daerah bisa memiliki pencapaian demikian tanpa adanya sikap disiplin? Saya rasa tidak. Justru, dalam hal ini skor minus diberikan ke pihak-pihak yang membela si Bang Jago tadi. Cih.
Dalam kasus siswa menyetir mobil, melibatkan orang tua nya sendiri yang merupakan anak dari Walikota yang seharusnya beliau menjadi pamong, menjadi panutan, karena kepala daerah, bukan preman pangkalan. Alih-alih dia menegur anaknya dahulu, baru kemudian menegur Kepala Sekolah (mungkin), malah dia seakan menjadi tameng dari ketidakdisiplinan anaknya sendiri. Kalau ditanya apa agama yang bersangkutan, pasti muslim. Padahal Rasulullah SAW sendiri pernah berujar sesuatu yang berkenaan dengan apabila anaknya beliau melakukan kesalahan, maka tidak akan dilindungi oleh Rasul sendiri. Itu Rasul. Berarti Walikota tersebut memposisikannya lebih dari seorang yang posisinya sangat maksum. Luar biasa.
Kesamaan ke-tiga, 2 kasus di atas terjadi di daerah yang rasa-rasanya memang bukan daerah yang optimal pertumbuhannya secara ekonomi, SDM, dan lain sebagainya. Sehingga, wajar saja kalau ada muncul Bonnie and Clyde yang sebetulnya kalau kita lihat lagi, ini merupakan fenomena gunung es.
Menurut penyajian penelitian Kataboks dari Katadata, pada kurun Januari – Juni 2025, paling tidak tercatat ada sekitar 14 ribu jumlah terlapor perkara kriminal dengan pelaku yang berusia di bawah 20 tahun[1]. Berikut rinciannya:
- Januari: 2.287 orang
- Februari: 2.372 orang
- Maret: 2.412 orang
- April: 2.178 orang
- Mei: 2.740 orang
- Juni: 2.205 orang
Menurut Pusat Informasi Kriminal Nasional (Pusiknas) Polri, ada juga beberapa kasus kriminal yang melibatkan anak-anak sebagai terlapor, seperti kasus kekerasan fisik, kekerasan verbal, pencurian, hingga pembunuhan.
Saya rasa kalau dilihat tren dan sifatnya (fenomena gunung es), bukan tidak mungkin pada Januari 2026 nanti, Databoks akan merilis bahwa ada sekitar total 30 ribu kasus yang terlapor perkara kriminal nya merupakan remaja berusia di bawah 20 tahun. Hore!
Artinya, berhubungan dengan lokasi terjadi nya kejadian, ini merupakan PR yang besar, yang jangan sampai simalakama generasi muda yang tidak bermutu, justru tumbuh subur, dan malahan mengulangi siklus kemelorotan pembangunan daerah—ya karena pasokan SDM bisa diharapkan dari mana kalau bukan dari generasi muda asal daerahnya sendiri?
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) angka kemiskinan di Kota Prabumulih pada tahun 2024 adalah sebesar 10,13%. Memang bukan yang paling parah dibandingkan dengan daerah lain yang ada di Sumatera Selatan. Tapi, paling tidak angka tersebut mendekati rerata angka kemiskinan yang ada di Provinsi Sumatera Selatan (10,97%)[2]. Artinya, Kota Prabumulih juga memiliki PR yang sangat besar menekan angka kemiskinan, yang kesemua nya itu akan bermuara pada bagaimana kepala daerah menelurkan kebijakan-kebijakan pembangunan, sehingga ada perbaikan. Alih-alih demikian, ini malahan anaknya sendiri yang diberikan priviledge untuk bisa seenaknya petantang-petenteng.
Masih menurut BPS di tahun yang sama, angka kemiskinan di Kabupaten Lebak adalah nomor 2 terburuk di keseluruhan Provinsi Banten, yaitu di angka 8,44% yang sangat jauh dari angka rerata kemiskinan Provinsi nya sendiri yaitu 5,84%. Berarti, Gubernur dan Wakil Gubernur sudah uzur dan tidak memiliki kacamata yang jelas untuk pembangunan daerahnya sendiri. Banten merupakan provinsi besar dengan kekayaan SDA melimpah dan lokasi yang strategis, kalau persiapan SDM nya tidak digenjot, niscaya Provinsi Banten tidak akan mendapatkan banyak dari nilai-nilai tambah ekonomi di kemudian hari. Isu-isu soal pendatang versus warga lokal adalah isu yang sangat basi. Di mana banyak yang merasa dirinya adalah warga asli, tapi karena dulu tidak becus sekolah, sudah begitu dibela oleh kepala daerahnya, akhirnya kalah sendiri pada persaingan nyata. Dan persaingan di sini sifatnya masih kedaerahan. Belum skala nasional, belum skala regional (luar), ataupun skala internasional. Cemen sekali.
Kesamaan ke-empat, 2 kasus di atas terjadi ketika media sosial sedang hot-hot nya. Artinya, segala bentuk dan jenis perilaku (apalagi yang buruk) akan terekam, dan tidak akan hilang jejaknya. Sekarang saya tanya. Bagaimana si Bonnie and Clyde 2 cecunguk itu menghapus berita-berita jelek tentang dirinya? Memangnya mereka siapa? Seorang Presiden pun belum tentu bisa menghapus rekam jejak, hoax, disinformasi, dan misinformasi tentang dirinya. Apalagi yang terjadi pada 2 cecunguk itu adalah fakta, bukan diada-ada.
Hal ini juga serupa tentu dengan bagaimana pada Februari 2023 lalu ada kasus yang juga melibatkan seorang anak (iya, elu tuh anak, bukan orang dewasa bro) yang berinisial MDS yang merupakan putera dari seorang pejabat Kemenkeu yang melakukan kekerasan terhadap DO. Setahun berikutnya pada Februari 2024, setelah sekian banyak proses banding dan kasasi, Mahkamah Agung (MA) malah menetapkan putusan penjara 12 tahun dan kewajiban membayar restitusi (kerugian yang ditimbulkan baik materiil maupun immateriil terhadap korban) sebesar 120 miliar[3].
Maksudnya, bagaimana mungkin seorang MDS bisa menghapus rekam jejaknya yang sudah buruk? Pada waktu terjadi nya kasus kekerasan berusia 19 tahun, dan kemudian divonis penjara 12 tahun, taruhlah dia menghabiskan waktu penjara 10 tahun dan 2 tahun mendapatkan remisi dan lain sebagainya, artinya usia 29 tahun orang seperti MDS akan menjadi apa?
Dia bukanlah orang miskin. Dia bukanlah orang yang tidak berpunya. Mobilnya mahal, rumahnya mewah. Dia bukanlah orang yang tidak direncanakan oleh orang tuanya menempuh pendidikan yang baik (mungkin sudah direncanakan untuk dikuliahkan ke luar negeri). Dia bukanlah orang yang orang tua nya tidak memiliki akses untuk melempar anaknya ke perusahaan-perusahaan yang bona fide. Dan lain sebagainya. Kalau dia menjadi anak baik-baik saja, mulus sekali hidupnya. Dapat istri pun bisa yang paling cantik di generasinya.
Namun, tidak. MDS malah membuat Bapaknya sendiri juga terseret kasus hukum dan kemudian mendapatkan vonis 2 tahun lebih berat dari dirinya[4]. Sudah terperosok tertimpa meteor pula ini barang. Selesai sudah hidupnya seorang MDS.
MDS mungkin merupakan versi kalangan borju dari Bonnie and Clyde di atas. Mungkin saja kelakuan-kelakuan brengsek nya sudah terjadi berulang. Tapi karena bapaknya (mungkin) punya akses, punya harta, jadi bisa saja kelakuan-kelakuan brengsek yang dilakukan sebelumnya sudah selesai dibayar oleh Bapaknya. Mungkin saja kelakuan MDS yang terakhir melakukan pemukulan ke DO adalah puncak dari emosi Bapak atas anaknya sendiri, sehingga ia tidak mau menutupi. Tapi dilalahnya sekali lagi, hari-hari ini adalah era medsos, di mana sesuatu yang terjadi (apalagi yang buruk) akan sangat mudah menjadi materi penelusuran, pelampiasan amarah, sasaran selidik, dan lain sebagainya. Penegak hukum pun juga sudah bisa menggunakan materi-materi yang diunggah via media sosial sebagai novum.
Sudah barang tentu, akan mudah sekali untuk pihak personalia (HRD) di perusahaan-perusahaan untuk mulai dari sekarang melakukan inventarisasi nama-nama atau individu yang telah dan sedang terlibat kasus hukum yang bisa dilakukan penelusurannya via media digital maupun media sosial. Pihak insititusi pendidikan tinggi juga harus melakukan hal yang sama, supaya menjadi catatan apakah orang-orang tersebut kedepannya akan membawa masalah dan membuat citra institusi nya buruk. Tapi kemarin malah Ahmad Sahroni dapat gelar Doktor dari Universitas Borobudur[5] ya? He he he.
Yang membuat banyak orang muak, bukan, saya ga tertarik baha Sahroni, adalah ada 1 perbedaan yang mencolok pada 2 kasus Bonnie and Clyde di atas. Di mana pada kasus Clyde (adek perempuan itu), rekan-rekan murid sekolah merasa sedih karena Kepala Sekolah sempat dinonaktifkan, dan merasa bahagia ketika dikembalikan kembali ke posisinya.
Namun, pada kasus Bonnie (kalau Bonnie di film lawas itu mukanya ganteng, Bang Jago mukanya ringsek) justru malah teman-teman nya melakukan mogok masuk sekolah selama beberapa hari. Ini sudah tentu di luar nalar. Dan merupakan sesuatu yang bagi mungkin bagi yang lahir sebagai milenial akhir, juga tidak habis pikir bahwa generasi alpha di Indonesia bisa bersepakat bersama untuk membela yang salah.
Tidak, Kepala Sekolah menampar anak badung menurut saya tidak salah. Yang salah itu Ibu nya sendiri yang membela dan seakan memposisikan dirinya dan keluarganya lebih tinggi dari sistem pendidikan di Indonesia. Lebih baik keluarga mereka enyah dari Banten, enyah dari Indonesia. Silahkan mencari negara yang sistem pendidikannya bisa ditekuk seperti apa mau Ibu tersebut.
Mau bahas apa? Cina?
Ada saya lihat di beberapa komentar (ya mungkin itu teman-temannya si Bang Jago juga ya), bahwa seakan mereka tau Cina seperti apa, dan membandingkan kalau di Cina tidak ada guru menampar anak sekolah.
Heyyyy kutu kupret! Di Cina tidak ada ceritanya, dari jaman Dinasti Xia, dinasti pertama di Cina, sampai saat modern begini, tidak ada ceritanya anak sekolahan yang bau kencur kayak kalian itu, berani merokok di lingkungan sekolah! Bukannya guru tidak menindak keras anak-anaknya. Tapi tidak ada anak-anak yang aneh dan begundal macam kalian itu di Cina, makanya wajar mereka bisa maju! Dongo lu!
Bahkan sudah banyak beredar video-video di sekolah di Cina, kalau ada siswa/siswi yang ketahuan membawa handphone, hanya perkara bawa handphone, ke sekolahannya, maka akan disita dan handphone nya akan dihancurkan ketika apel pagi di depan umum. Itu supaya memberikan rasa malu dan efek jera. Ini malah 1 sekolah membela temannya yang saya yakin dia ga akan jadi apa-apa (ya paling jual makanan pinggir jalan lah) dan tidak akan bisa membantu teman-temannya (di kala ada yang kesulitan) yang sudah seakan-akan mendukung aksi nya merokok di lingkungan sekolah seperti itu.
Sebal ya dengan generasi alpha yang sudah lah lembek, punya jiwa korsa yang dungu seperti para siswa di SMAN 1 Cimarga itu.
Ibu dan para orang tua Bonnie and Clyde, dan belasan ribu remaja yang tersangkut kasus hukum. Harusnya berkaca pada diri sendiri, bagaimana mungkin cara mereka mendidik lembek anak-anaknya itu kemudian akan menjadi investasi yang cukup di kala para orang tua itu uzur nanti? Anda semua akan ditinggalkan dan ditelantarkan oleh anak-anak brengsek yang Anda didik secara lembek itu. Biar saja mereka kesal dengan orang tua sendiri, selama mereka masih tinggal, masih bergantung pada ekonomi keluarga, belum bisa mandiri. Tapi, paling tidak, mereka akan menjadi putera puteri yang disiplin, yang kompeten, yang tau dirinya harus apa kalau salah, yang tau nanti kalau dia menghadapi ujian di luar rumah, di luar usia sekolahnya, bagaimana caranya yang baik untuk bisa beradaptasi dan selamat menjadi manusia yang utuh!
Orang-orang seperti Anda ini tidak pantas untuk menjadi orang tua. Coba lihat itu Rafael Alun. Sudah benci seperti apa dia ke anaknya sendiri. Saya tau, Anda secara level kehidupan mungkin tidak ada 0,1% dibanding Rafael Alun. Tapi, itu hanya contoh kasus saja. Coba saja Anda Googling, berapa banyak orang tua yang sudah renta di Indonesia ini, ditinggalkan dan diabaikan oleh anaknya sendiri. Anak yang Anda buat dan dititipkan oleh Tuhan untuk Anda, bukan untuk orang lain. Tidak peduli.
Saya yakin jumlah remaja yang terlapor terlibat pada kasus kriminalitas lebih banyak dari data yang dihimpun oleh Pusiknas Polri seperti yang sudah dijabarkan di atas. Mungkin angkanya bisa mencapai 100 ribu di akhir tahun 2025 ini.
Jadi, apa kabar Bonus Demografi Indonesia, kalau saja ada katakan estimasi 100 ribu anak muda nya yang terlibat kasus kriminal (yang formal terlapor, ada Berita Acara dan lain sebagainya).
Supaya tidak melebar, mari lah kita sama-sama berefleksi (bukan pijat). Kita yang juga sama-sama orang tua, walaupun memiliki anak di usia yang berbeda, harus bisa melihat jauh ke depan apa yang baik untuk anak-anak kita. Walaupun tentu kita tidak perlu se-keras para orang tua kita dulu menggembleng, tapi paling tidak jangan lembek.
Ketidaktegasan orang tua membentuk anaknya, tentu akan memakan dampak negatif, bahkan nyawa seseorang. Tulisan ini belum juga mengupas soal meninggalnya Timothy Anugrah Saputra (mahasiswa Universitas Udayana Bali) yang kalau kita baca beritanya miris sekali. Bahkan ketika almarhum sudah tidak ada, masih juga dirundung secara virtual oleh rekan-rekannya yang bejat itu.
Jangan sepelekan keberpihakan kita sebagai orang tua kepada kejanggalan, kenakalan, ketidakdisiplinan anak yang kita anggap sepele. Padahal kita sebagai orang tua belum tentu tau apa saja yang dikerjakan oleh anak-anak kita selama 24 jam. Bisa saja mereka bermuka dua. Bisa saja perilaku yang ditunjukkan di hadapan orang tua nya adalah topeng. Bisa saja. Kenapa? Karena anak-anak seperti itu, sudah biasa dibela oleh orang tuanya kalau melakukan hal-hal yang dianggap sepele. Tidak ada penyebab yang lain.
Janganlah para orang tua milenial awal atau Gen X itu kelewatan memberikan kompensasi kepada anak-anaknya. Saya rasa tetaplah pada tradisi tegas dalam mendidik anak merupakan sesuatu yang perlu.
Semoga kita dijauhi dari lingkungan para perundung dan kenakalan remaja sedemikian. Amin.
[1] https://databoks.katadata.co.id/demografi/statistik/68b674d63affc/14-ribu-anak-muda-indonesia-jadi-terlapor-kasus-kriminal-pada-semester-i-2025
[2] https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/NjIxIzI=/persentase-penduduk-miskin-menurut-kabupaten-kota.html
[3] https://www.tempo.co/hukum/kilas-balik-kasus-mario-dandy-ma-putuskan-anak-rafael-alun-tetap-terima-hukuman-12-tahun-penjara-80816
[4] https://www.kpk.go.id/id/ruang-informasi/berita/eksekusi-perkara-rafael-alun-kpk-setorkan-rp-40-miliar-ke-kas-negara-2
[5] https://www.detik.com/edu/edutainment/d-8161534/ahmad-sahroni-lulus-s3-universitas-borobudur-disertasi-soal-pemberantasan-korupsi