Cina Punya The Great Firewall, Indonesia Juga Perlu?

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Kepada hacker-hacker baik yang dari dalam maupun dari luar negeri, plis lah, jangan serang negara kita lagi dong. Kita tuh capek. Kalau bisa jangan serang ya. Terima kasih atas perhatiannya.

Kira-kira begitu ya kalau kita terjemahkan request dari pemerintah terhadap kasus peretasan beberapa waktu lalu. Yang sampai-sampai bikin proses imigrasi di bandara Soekarno Hatta, dan puluhan layanan pemerintah untuk masyarakat luas harus terganggu secara sistem. Engga main-main, yang coba diretas adalah Pusat Data Nasional Sementara 2 yang berlokasi di Surabaya.

Wah, wah, perasaan masih bisa kita ingat ya yang dulu juga heboh kasus Bjorka yang nge-hack sana-sini, sampe-sampe bikin aparat kita kewalahan.

Apa itu artinya Indonesia sudah membutuhkan yang namanya Tembok Api atau Firewall raksasa seperti yang Cina punya?

Sebagai disclaimer, di sini gue bukan sebagai ahli IT, bukan. Apalagi soal apakah ada ngaruhnya sama Menkominfo yang dulu, lalu lantas gue jadi ngerti IT, malah lebih salah lagi bro. Hahaha.

Jadi, gue ga akan bahas terkait dengan aspek-aspek nerd nya. Bisa silahkan untuk temen-temen yang lebih paham nanti soal konsep firewall yang utuh, dan apakah bisa diterapkan pendekatan “intranet” seperti yang Cina lakukan, monggo ya dipersilakan di kolom komentar. Pisang goreng sama kopi item nya siapin sendiri.

Gue di sini juga akan mempersempit bahasan juga terkait dengan fenomena peretasan yang sebetulnya juga ga baru-baru amat kejadian di Indonesia, lalu melihat bahwa Cina punya yang namanya The Great Firewall, dan apakah kira-kira Indonesia perlu menerapkan hal yang sama supaya lebih aman, dan apa iya jadi lebih aman?

Karena kalau kita sudah ngomongin teknologi, internet, gadget, “Halo David di sini”; itu kan sebetulnya kita kalo awam-awam banget soal teknologi, kita nya yang sebetulnya bisa gue bilang malas untuk beradaptasi. Lah, wong sekarang tiba-tiba kita bisa banyak belajar software dari YouTube, yang tadinya mungkin kita harus bolak-balik noh ke Mall Ambassador buat nginstall software dan install aplikasi buat belajar soal software itu. Jadi, kemungkinan untuk kita sama-sama melebarkan pembahasan jadi kemana-mana, sangatlah mungkin. Makanya, gue batasin aja dulu ya bahasannya.

Gue rasa, sebagai generasi milenial, gue merasa beruntung karena kita tidak seprihatin Boomer, dan tidak se-over-excited generasi X melihat kecanggihan dan kemajuan teknologi informasi di Indonesia.

Sebetulnya, di Indonesia sendiri, internet masuk lebih dulu daripada internet masuk ke Cina. Di Indonesia, kalau ga salah internet sudah masuk di tahun 1988. Di Cina, internet baru “diperbolehkan” masuk sama pemerintahnya di tahun 1994. Ya memang, baru di tahun 1994, muncul pertama kali Internet Service Provider atau ISP di Indonesia. Tapi, masuknya internet ke teritori maya Indonesia cenderung lebih cepat dari Cina.

Balik lagi ke soal firewall[1].

Gue juga sebetulnya ga paham bagaimana sebetulnya sebuah firewall itu bekerja. Apakah karena yang kemarin kena retas adalah Pusat Data Nasional sementara, makanya mungkin firewall yang dipasang belum bagus atau belum kuat atau seperti apa, Windows Defender men! Sehingga bisa sampai masuk ada malware/ransomware yang kemudian hacker yang sayangnya tidak memiliki nama, kemudian meminta tebusan sebesar 8 juta USD ke pemerintah Indonesia[2].

Apakah firewall itu cara kerja nya ya memang seperti ‘wall’ beneran alias tembok gitu ya? Jadi nih misalnya gue punya rumah, dibikin tembok, kan dengan harapan mudah-mudahan maling jadi lebih susah nerobos masuknya. Lalu di sebelah sana satu komplek pada bikin tembok semua satu-satu. Gitu ya prinsip kerja firewall? Memang betul-betul harus se-manual itu?

Kalau dianalogikan ke perumahan, kan ada tuh perumahan atau cluster-cluster modern yang masing-masing rumah nya ga ada pager sendiri-sendiri. Tapi karena cluster nya one-gate system atau sistem keamanan satu pintu, maka penghuni tidak lagi perlu bikin pager lagi. Mungkin gitu kira-kira analogi dari konsep Firewall nasional nya Cina yang kenapa engga kita coba terapkan?

Gue di sini bukannya mau mengkritik atau apa, tapi come on, kita tau kok dan masyarakat bisa mengamati bersama, Pak Pemerintah. Perkara keamanan data, keamanan dunia maya, pinjol, judol, odol, dan apapun itu lah namanya, ya memang harus serius ditangani. Ini sudah masuk ke level di atas prihatin. Berasa negara ini ga punya kedaulatan atas teritori maya nya sendiri.

Ya, tapi gimana ya Bapak Menkominfo yang satu itu kemarin juga lagi berkasus. Hadeeeeh..! Pening awak..!

Kalau kita searching, di Indonesia saat ini sudah ada 4 Pusat Data Nasional yang terletak di Batam, Bekasi, Balikpapan, dan Manggarai Barat. Mungkin yang kemarin direstas, itu bener-bener baru sementara ya, baru mungkin mau tes kemampuan ‘load’ server nya kali ya. Tapi ya kalau imigrasi nyantol di situ, dan itu menyebabkan kemarin sistem bandara Cengkareng jadi down, aduh, jangan sampe kita kecolongan ada orang-orang jahat keluar atau masuk tanpa terdeteksi sistem.

Sekarang kita ke Cina nya sebentar.

Kalau kita baca-baca terkait dengan The Great Firewall, memang, kalau kita pake cara pandang liberalisme, maka apa-apa yang merupakan bagian dari intervensi pemerintah akan dipandang buruk semua.

The Great Firewall di Cina, sebetulnya sudah mulai diinisiasi sejak tahun 1996 yang kemudian di tahun 1997 nya, mereka punya semacam Undang-undang yang sebetulnya awalnya lebih banyak mengatur terkait dengan bagaimana pengelolaan dunia siber secara nasional.

Baru kemudian secara berkala, Great Firewall mulai banyak melakukan ban terhadap banyak situs yang utamanya dari Barat di tahun 2011.

Ada artikel di Politico dotcom[3], yang sebetulnya menurut gue ya bagus-bagus aja artikelnya, cuman karena ditulis oleh orang Amriki, sehingga, seakan-akan pembatasan internet yang ada di Cina dengan mereka menerapkan The Great Firewall itu tadi, dianggap sebagai bagian dari kediktatoran dunia maya dan lain sebagainya.

Well, sebetulnya ini bisa dibedah sedikit sih.

Pertama, terkait dengan Ekonomi Digital. Memang agak sulit nyari berapa sih sebetulnya nilai dari ‘ekonomi internet’ dunia? Kalaupun ada, data itu tersaji nya per negara, yang mana konsep dan pendekatannya juga agak beda, jadi kalo kita total dari situ, ya kurang nyambung, karena ada negara-negara seperti Cina, Korea Utara, dan lain-lain yang memiliki pembatasan akses dan konten internet, sehingga ga sama nih playing field nya yang lagi kita omongin.

Tapi, tentu kita bisa sampling aja, dari yang paling gampang, liat aja Google. Menurut Statista, pendapatan Google secara global dari tahun 2002 – 2023 bisa dibilang istiqomah menanjak. Bayangkan saja pada tahun 2023 kemarin, pendapatan global Google sebesar 305 sekian milyar USD[4]. Kalau kita bandingkan dengan PDB Indonesia di tahun 2023 juga, kira-kira kalau kita kurs ke USD nya itu 16.400 Rupiah, maka PDB Indonesia ada di angka 1,27 milyar USD. Bayangkan, pendapatan Google secara global berapa kali lipatnya pendapatan Indonesia sebagai negara.

Apalagi kalau lihat di laman Statista itu, ada peningkatan penghasilan atau revenue yang signifikan ketika masa-masa pandemi tahun 2020 ke 2021.

Kenapa gue angkat Google, karena ini nanti ada hubungannya dengan gimana Google juga sebetulnya dulu eksis di Cina, tapi kemudian terpaksa harus cabut di tahun 2011. Dan Google mungkin cukup beda dengan perusahaan teknologi lainnya seperti Nvidia, Apple, Samsung, Amazon, yang memang punya banyak diversifikasi produk terutama di gadget dan logistik. Kalau Google dengan perusahaan induknya yaitu Alphabet, sebagian besar porsi bisnis nya adalah karena ketersediaan jaringan internet di seluruh dunia. Ya cuan nya salah satunya dari iklan yang ada di semua lini produk yang terafiliasi dengan Google.

Google sendiri sejak awal masuk nya internet ke Cina pada tahun 2006, produk utama nya tetap search engine mereka. Tapi, ketika di tahun 2010 mereka dan penyedia produk atau jasa internet lainnya di-sounding dan dihimbau oleh pemerintah Cina untuk salah satunya menerapkan filter yang diusulkan oleh Cyberspace Administration nya Cina, Google menolak, dan memilih untuk cabut dari pasar Cina di tahun 2011.

Ada tulisan bagus Pak Teten Masduki, walaupun tulisannya lebih banyak bahas soal fenomena yang kemaren sempet rame. Tulisan beliau tanggal 29 September 2023[5] lalu sebetulnya lebih banyak membahas terkait dengan protes beliau terhadap fenomena TikTok Shop dan waktu itu apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah dari 3 Kementerian.

Ada 1 paragraf yang sudah mencakup realita betapa besarnya nilai ekonomi digital karena internet. Di tulisan itu, dan memang juga sama kalau kita merujuk dari Statista, Bloomberg, dll, sumbangsih ekonomi digital di Cina terhadap PDB mereka adalah sebesar 41,5%. Sementara AS sendiri di angka sekitar 10 – 11%, namun, di Indonesia baru hanya 7% saja di tahun 2022 kemarin.

Jadi, bisa dibayangkan apa jadinya kalau Cina tidak memasang yang namanya Great Firewall tadi. Kalau Rusia, gue masih bisa paham lah, karena memang waktu kemaren gw sempat ke Rusia 10 hari, ya masyarakat Rusia memiliki pemikiran dan situasi sosial yang berbeda dari masyarakat di Cina. Kembali lagi ke soal besaran pasar dan berapa nilai market yang bisa hilang dari ekonomi digital, tentu pasar Cina berkali lipat lebih besar dari Rusia.

Di laman web nya WANTIKNAS[6], Dewan TIK Nasional, yang menyadur juga dari statement-statement Kemenkominfo dulu di 2021, besaran nilai ekonomi digital Indonesia, kalau dirupiahkan pada tahun 2021 lalu sebesar 1.042 triliun. Lalu, nanti di tahun 2030 nilai itu akan melonjak sekitar 4 kali lipat di angka 4.698 triliun. Tapi, kan pertanyaannya, dari nilai-nilai yang ribuan triliun itu, berapa persen nya sih sebetulnya yang masuk ke Indonesia. Makanya, ga heran kan, kontribusi ekonomi digital di Indonesia di angka 7% aja. Harusnya bisa lebih.

Terkait dengan itu, sekarang coba kita Googling aja, sampai mana sebetulnya pemerintah sudah berhasil untuk membuat Google dan kawan-kawan untuk membayar pajak nya secara fair di Indonesia? Coba deh searching.

Kedua, perspektif soal kebebasan berekspresi. Hal ini memang dari awal sudah merupakan sesuatu yang klise kalo kita membahas terkait Cina. Kalau kita pakai pandangan liberalis, memang ga akan cocok ngomongin apapun soal Cina. Tapi, dari adanya pembatasan konten dan akses dunia maya, gue rasa sih konten-konten yang terkait dengan kekerasan, kriminalitas, aktivitas yang self-harm atau membahayakan, konten soal LGBT, pornografi, judi online, dan lain sebagainya bisa lebih tersaring. Karena kalau tidak, kita juga bisa lihat apalagi dulu sebelum TikTok menerapkan fitur moderasi nya. Kayak sampah aja kan tuh TikTok waktu itu.

Apalagi, kalau dari perspektif Cina sana, negara mereka punya populasi manusia yang sangat banyak, dengan pemikiran yang sangat beragam. Apa kabar kalau tidak ada “pembersihan” konten dari pihak Cyberspace Administration nya Cina untuk menindaklanjuti konten-konten yang apalagi mengandung hoax, deep fake, dan lain sebagainya, bisa tawuran terus antar kampung mereka hanya karena postingan media sosial.

Ketiga, kedaulatan digital. Ini yang mungkin kita ga punya bayangannya, karena kita ga ada pembatasan  internet seperti Cina, jadi kita ga punya tuh konsep apaan sih ‘kedaulatan digital’. Ya sebetulnya ini gue bilang hanya gabungan dari 2 poin di atas. Yang satu lebih kepada bagaimana menjaga nilai ekonomi agar ga keluar ke perusahaan-perusahaan raksasa internet luar, dan yang kedua soal bagaimana menjaga kondusivitas sosial yang terbukti semakin lama gaya hidup masyarakat sudah sangat bergantung pada gawai dan sambungan internet, baik itu di perkotaan maupun pedesaan. Plus, yang paling penting, tentu soal keamanan siber itu sendiri.

Kalo kita iseng-iseng liat web Cybermap nya Kaspersky[7], kita bisa lihat secara glance atau secara mudah, negara mana yang paling “terinfeksi: serangan siber. Di nomor 1 ada Rusia, nomor 2 Cina, nomor 3 US, nomor 4 Brazil, dan nomor 5 Vietnam. Walaupun Indonesia ga ada di 5 urutan itu, tapi tetap saja menurut laman web Karspersky tadi, Indonesia berada di urutan ke 14 untuk negara yang paling banyak diserang secara siber. Tapi, memang, data dari web Cybermap nya Karspersky tadi, itu diupdate secara berkala ya. Datanya dinamis.

Keempat, pengalaman sebagai orang Indonesia di sana, ya memang kita cukup kerepotan aja, karena tidak terbiasa, dan dunia internet kita beda dengan di Cina. Walaupun misalnya seperti semua produk grup Google, YouTube, Facebook, Instagram, Twitter, Netflix, website media-media US atau lainnya itu ga bisa kita akses, tapi dengan bantuan VPN apalagi VPN nya pake yang bayar, bukan pake yang liat video-video iklan 1 menit 2 menit, sebetulnya kita masih bisa kok akses apa yang mau kita akses.

Tapi, balik lagi, ga semua produk atau jasa digital yang notabene nya merupakan asal Barat, sekonyong-konyong ga bisa diakses di Cina. Misalnya Microsoft masih eksis dengan search engine yang namanya Bing. Ya walaupun langsung kena redirect ke versi Cina nya, tapi yang jelas Microsoft berusaha untuk “berkompromi” dengan pemerintah Cina. Tentu setelah mempelajari Asian Values secara seksama. Eh. Engga gitu ya? Engga ya?

Atau misalnya Zoom, Skype, Spotify, Tumblr dotcom juga seinget gue masih bisa diakses. Yaudah sih, cuman sedikit itu aja yang bisa diakses langsung. Hehe.

So, piye jal? Cocok bahasan kita kali ini? Perlu ga Indonesia pasang Firewall kayak Cina juga?

Denger-denger pemerentah ga jadi nge-ban Twitter atau X ya? Katanya kemaren ada yang semangat banget mau nutupin X. Hmmmm, yaaa gemana yaaa.

Udahlah, kita tutup pake pantun aja.

Tidak peduli kucing hitam atau kucing putih yang penting bisa nangkep tikus

Itu frase termahsyur nya Deng Xiaoping

Kalau mau dunia siber kita lebih bagus

Kenapa ga coba belajar dari negaranya Xi Jinping


[1] https://cdn.britannica.com/26/247126-050-CD6FCB4C/firewall.jpg

[2] https://nasional.kompas.com/read/2024/06/27/08173611/data-di-282-layanan-kementerian-lembaga-hilang-imbas-peretasan-pdn-hanya-44

[3] https://www.politico.com/news/magazine/2020/09/01/china-great-firewall-generation-405385

[4] https://www.statista.com/statistics/266206/googles-annual-global-revenue/

[5] https://www.kompas.id/baca/opini/2023/09/28/ekonomi-digital-indonesia-mau-ke-mana

[6] http://www.wantiknas.go.id/id/berita/2030-nilai-ekonomi-digital-indonesia-akan-capai-rp-4698-t

[7] https://cybermap.kaspersky.com/

Leave a comment