Ada artikel menarik nyelip di harian Kompas edisi 5 Juni kemarin. Isinya membahas soal sumber daya manusia dan industri gim dalam negeri. Analisis tulisannya juga disambung-sambungin dengan kesiapan SDM untuk mendukung visi Indonesia Emas 2045 dan lain sebagainya. Di dalam artikel itu, dijelaskan bahwa prediksinya nanti di tahun 2025 ada 192 juta orang Indonesia yang bermain gim, yang artinya itu merupakan volume pasar yang sangat besar, 70 persen dari populasi Indonesia. Wow!
Cuma, yang sangat disayangkan, 90% dari produk gim yang dimainkan adalah merupakan produk gim dari pengembang luar negeri[1], kehadiran produk gim hasil pengembangan dalam negeri dirasa belum maksimal.
Kalau begini jadinya, kedaulatan negara kita bisa dibilang sangat rendah di berbagai macam sisi. Developer dan gamers ga demo nih soal 90% produk gim asing?
Terima kasih kepada platform marketplace untuk gim semacam Steam dan lain-lain yang kalau udah ngasih diskon bikin kita kadang-kadang lupa kalo dompet kita bukan dompetnya Hotman Paris. Gue sendiri terakhir belanja di Steam itu misalnya Borderlands 3, Need For Speed Heat, Metro Exodus, dll. Ya walaupun udah lama juga ga main gim, tapi gue sendiri akui belum pernah mainin gim produk pengembangan dalam negeri. Ya karena tadi, kalo udah Steam yang ngasih diskon, itu jadi suka lupa diri.
Secara argumentasi, mungkin alasan kenapa Indonesia tidak siap menghadapi era ekonomi digital, terutama terkait dengan industri gim yang sama sekali ga ada produk fisiknya (kecuali merchandise), itu bisa dibilang berangkat dari persepsi generasi yang lebih senior melihat gim itu sendiri. Dengan penggunaan persepsi yang melulu negatif, tidak terbuka untuk berdiskusi dan melihat peluang baru, banyak hal khususnya ekonomi digital di Indonesia, bisa dibilang sangat terlambat untuk dikembangkan.
Generasi kolonial harus banyak menahan diri, dan lebih terbuka dengan perkembangan zaman, terutama ga bisa kaku melihat bahwa gim adalah sesuatu yang sia-sia, atau sesuatu yang hanya mendatangkan mudharat, dan lain sebagainya. Giliran kita lihat sekarang, fakta-fakta tadi, sudah berapa banyak uang yang harusnya bisa Indonesia terima lebih banyak, karena bagaimana pun ini adalah sebuah industri.
Apalagi mungkin gue yakin juga kalau banyak dari atlet e-sport Indonesia yang awal mulanya juga banyak mendapatkan penolakan dari orang tua mereka. Ngapain kamu kerjaan nya main gim terus begitu? Emang apa itu turnamen gim? Itu ada duitnya? Tuh liat anaknya Pak Boris udah jadi artis. Dan lain sebagainya. Intinya ada di salah kaprah melihat gim ini hanya sebagai aktivitas senang-senang nya saja, tidak mau buka Google sedikit, manfaat dari gim dan industri gim seperti apa.
EHM. INTERNET CEPAT BUAT APA??
Kembali ke laptop!
Menurut Statista, pada tahun 2027 nanti, prakiraan pangsa pasar industri gim di Indonesia adalah sebesar 416,9 juta USD[2] atau sekitar . Cuma, masalahnya, dari pemberitaan Antara tanggal 21 Februari kemarin, paparan langkah-langkah percepatan pembangunan industri digital khususnya gim di Indonesia, kalau kita baca seakan-akan solusinya hanya formalitas. Seperti misalnya memberikan pendampingan dan pelatihan talenta gim, mengundang investor luar yang terkait gim, membantu industri perangkat keras untuk pengembangan industri gim, kegiatan promosi gim ke luar negeri, dll dsb. Itu kalo kita liat-liat kayaknya bakal banyak rapat-rapat di hotelnya ketimbang aksi nyata nya. Dan kalau misalnya ada kegiatan-kegiatan macam ngundang investor gim, itu mah udah jadi mainan rekanan subcon acara yang selama ini jadi mitra pemerintah, ya ga sih?
Apalagi ya mohon maaf, saban kita riset, kita browsing soal berita-berita seperti ini, kita sering menemukan entah itu Menteri, entah itu Dirjen, entah itu Direktur lembaga negara, rata-rata apa yang disampaikan itu ya hanya masalah atau problematika nya aja. Jadi seakan-akan beliau-beliau itu sudah mengerjakan tugasnya ketika bisa mengidentifikasi berbagai macam masalah.
Apalagi kemarin waktu rame Debat Cawapres, ada muncul istilah ‘Hilirisasi Digital’. Atau Bang Budiman Sudjatmiko sempat menggadang-gadang soal Bukit Algoritma dan lain sebagainya. Ya okelah, kita nikmati saja wacana-wacana itu, ya ga?
Ya memang tidak semudah itu menghadapi dunia birokrasi dan kebijakan. Makanya, betul, ada beberapa bidang ekonomi, khususnya ekonomi digital dan gim, perlu perlakuan khusus yang jangan dianggap sebagai sebuah sektor ekonomi konvensional. Jangan pakai pendekatan birokratis apalagi cenderung ABS.
Kembali ke artikel Kompas 5 Juni kemarin, Pelaksana Tugas Direktur SMK Kementerian Pendidikan menyebutkan, dari total 41 ribu SMK yang ada se-Indonesia, ada sebanyak 500 ribu siswa yang memilih konsentrasi keahlian yang relevan dengan industri gim. Itu bahasanya sangat bersayap lho, “yang relevan”. Artinya, memang dari segi pelaksanaan kebijakan, apabila dihubungkan dengan dari mana sumber daya manusia nya, ya belum sinkron antara Kemendikbud, Kemenparekraf, mungkin juga ada bagiannya dengan Kementerian Investasi, Kemenaker, dan lain-lain.
Menurut Kemenparekraf, data yang paling baru, dari website mereka, di tahun 2021 kemarin, kontribusi industri gim Indonesia terhadap PDB adalah sebesar Rp 31,25 triliun[3].
Salah satu pengembang gim dalam negeri, Agate International memiliki prediksi bahwa di tahun 2027 nanti pangsa pasar gim global adalah sebesar 363,2 miliar USD[4]. Mengetahui hal tersebut, apakah Indonesia bisa memaksimalkan akselerasi guna merebut kue ekonomi yang sangat besar tersebut.
Sekarang kita cek bagaimana Cina melakukan intervensi dan memaksimalkan penguasaan pangsa pasar industri gim global.
Tapi, sebelumnya, kalau lah kita bilang apakah Cina secara budaya itu konservatif dalam penggunaan gawai oleh anak-anaknya, dan bagaimana kenyataannya? Dari pengalaman gue studi dan bekerja di Cina selama total 5 tahun.
Pertama soal handphone.
Di Cina kalau ada anak usia sekolah, sama sekali tidak boleh pegang handphone sendiri. Handphone dipegang oleh orang tua, dan baru boleh dipegang sama anaknya hanya di hari Minggu. Temen-temen juga mungkin pernah lihat ya beberapa video tentang bagaimana keras nya hukuman kalau ketahuan bawa handphone ke sekolah. Entah itu memang orang tua nya yang meminta anaknya membawa handphone untuk memudahkan berkomunikasi semata, atau seperti apa. Tapi yang jelas mayoritas penerapan terkait dengan penggunaan handphone di Cina sangatlah ketat, khususnya untuk anak-anak usia sekolah.
Namun, bukan berarti itu adalah persepsi yang keliru melihat manfaat dari gim sebagai sebuah industri. Kendati anak-anak usia sekolah tidak boleh pegang HP, itu karena ya biar belajar nya fokus. Biar nanti waktu mau daftar dan tes kuliah, bisa diterima di kampus yang bagus. Nanti urusan di kampus nya mereka ternyata mau kuliah jurusan pengembangan gim, itu pun juga aktivitas nya bukan main gim. Tapi semisal coding, full-stack developing, tumpukan soal-soal matematika, algoritma, web building, dan lain sebagainya.
Menurut laman web Edurank, kalau kita cari ada berapa kampus di Cina yang punya jurusan desain dan pengembangan gim, jumlahnya ada 100 kampus[5]. Mulai dari yang paten kayak University of Hong Kong, Tsinghua University, Beihang University, Shanghai Jiaotong University, Zhejiang University, dan lain sebagainya.
Masih menurut laman web tersebut, jurusan desain dan pengembangan gim sebetulnya merupakan turunan dari Ilmu Komputer yang perlakuannya di kampus-kampus ya berbeda juga. Ada yang bentuknya Fakultas Ilmu Komputer, ada yang dimasukkan dari Fakultas lain, sehingga ada relasi akademiknya. Untuk temen-temen Ilkom atau Fasilkom mungkin lebih paham ya. Ya kalau kita lihat, kategori atau bidang studi Ilmu Komputer mencakup seperti Data Science, Teknik Komputer, Jaringan Komputer, Sistem Manajemen Informasi, Keamanan Siber, Teknologi Informasi, Robotik, Multimedia, Teknik Perangkat Lunak, dan lain sebagainya itu.
Hal ini, menurut laman web Statista, tidak lain dan bukan adalah karena memang melihat pangsa pasar dan nilai ekonomi nya yang luar biasa, yaitu sebesar 94,49 milyar USD di tahun 2024. Lalu kemudian angka itu akan terus bertumbuh menjadi sebesar 119 milyar USD di tahun 2027 nanti. Pada tahun 2027 pula, jumlah pengguna atau pemain gim di Cina ada sebanyak 414,5 juta orang. Wow! Dua kali lipat lebih banyak dari pangsa pasar pengguna atau pemain gim di Indonesia.
Jumlah gamers di Indonesia yang keliatan nya banyak, itu pun menurut gue juga sudah termasuk orang-orang yang cuma demen main Zuma, catur, atau Candy Crush! Ha ha ha.
Ibarat kita lagi nge cheat di Age of Empires atau GTA, salah satu faktor utama yang sebetulnya membuat Cina bisa memiliki kedaulatan dunia digital, dan kesemua hal tadi yang berhubungan dengan duit, adalah yang disebut dengan The Great Firewall. Kenapa dinamakan demikian? Ya sebetulnya ga ada penamaan resmi seperti itu dari pihak Pemerintah Cina. Cuma, supaya catchy mau itu di media-media AS atau di Wikipedia, supaya juga mirip-mirip sama Great Wall atau Tembok Besar Cina, maka dinamakan The Great Firewall.
Menurut Wikipedia, The Great Firewall ini sebetulnya sudah diprakarsai oleh Pemerintah Cina sejak tahun 1997, atau 3 tahun setelah internet masuk ke wilayah maya nya Cina. Kalau kita searching, sebetulnya awal mula nya dikenal internet yaitu 1 Januari tahun 1983. Artinya, sebetulnya urusan internet duniawi ini, di Cina sendiri juga agak telat ya masuknya.
Baru kemudian Pemerintah Cina menggunakan, menganalisa, menimbang-nimbang, dan mereka melihat bukan hanya sekedar soal sensor informasi nya, tapi yang namanya internet itu isi nya duit semua!
Dengan pada akhirnya The Great Firewall full diterapkan pada tahun 2010. Dan menariknya, sebetulnya Google sudah masuk ke dunia maya Cina itu di tahun 2006. Tapi ya lagi-lagi, karena yang berhubungan dengan internet itu kesemuanya bisa diuangkan, makanya Pemerintah Cina merasa penerapan The Great Firewall adalah yang terbaik untuk kepentingan ekonomi dan bisnis mereka.
Betapa engga, dengan adanya semacam kubah kaca yang besar seperti itu, pengembang-pengembang lokal Cina ga perlu tarung UFC sama pengembang-pengembang raksasa misalnya dari Amerika atau Eropa. Bukannya Cina takut bersaing, tapi kalau kita lihat tadi fakta-faktanya, mosok 90% produk gim itu bukan punya Indonesia. Kan harus begitu melihatnya.
Oleh karena itu pengembang dan publisher gim seperti Tencent, miHoYo, NetEase, Century Games, Joy Net, 37Games, dan lainnya, bisa memaksimalkan profit mereka di pasar domestik yang juga sudah besar. Baru nanti kemudian apabila pasar domestik sendiri sudah settle, baru lah mereka listing ke platform mau itu mobile, PC, atau konsol.
Kesimpulannya, ya kalau Indonesia pengarahan pasokan SDM yang katanya untuk mendukung Indonesia Emas 2045, dalam sektor pengembangan gim masih di level sekolah menengah, Cina sudah punya sekitar 100 kampus yang memiliki jurusan desain dan pengembangan gim. Jadi, bisa dilihat perbedaan yang cukup jauh ya bagaimana kualitas lulusan yang kemudian dapat terserap langsung di industri.
Apakah Indonesia tertarik untuk menerapkan semacam Firewall Gajah Mada atau apalah itu namanya, sehingga ya gue sendiri juga berempati gitu ya bagaimana rekan-rekan pengembang gim dalam negeri harus begitu berjibaku nya kayak sabung ayam, tanpa arahan yang jelas dari regulator alias pemerintah yang saban penyampaian hanya sebatas deskripsi permasalahan.
Apalagi kalau kita lihat di ujung Pemerintahan Pakde, terlihat kesannya sektor ekonomi digital khususnya industri gim masih jauh dari maksimal.
Apakah Cina bikin-bikin rapat di hotel soal akselerasi pengembangan gim? Mungkin iya. Apakah Cina bikin acara-acara yang itu juga kebanyakan hanya diskusi untuk mengundang investor asing investasi di produk gim mereka? Mungkin iya juga. Apakah Cina bikin acara-acara promosi produk gim mereka di luar negeri yang difasilitasi pemerintah mereka? Hemmm, sepengetahuan gue engga pernah, karena mereka pola nya ga seperti itu.
Tapi, yang jelas kita lihat saja siapa yang berencana dan berhasil, dan mana yang berencana lalu merencanakan acara yang digunakan untuk membuat perencanaan selanjutnya? Kok gue jadi inget Pakde sempat marah soal habisnya anggaran untuk mengatasi stunting tapi cuman buat rapat di hotel-hotel doang. Apa jangan-jangan yang soal industri digital juga ada fenomena yang sama? Ah, sudahlah. Kita tutup pake pantun aja ya!
Ke Ratu Plaza beli konsol paling mahal
Taunya bawa duit kurang ceban
Kalau kita ingin sukses di banyak hal Belajar lah dari yang sudah berpengalaman
[1] https://www.kominfo.go.id/index.php/content/detail/8851/90-persen-pasar-gim-di-indonesia-masih-dikuasai-asing/0/sorotan_media
[2] https://www.statista.com/outlook/amo/app/games/indonesia
[3] https://www.kemenparekraf.go.id/hasil-pencarian/perkembangan-industri-gim-di-indonesia-raih-penghargaan-internasional
[4] https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/23/dari-gedebage-sampai-ke-panggung-dunia