Komitmen Mengatasi Perubahan Iklim Cina, dan Indonesia

Dalam episode ke 18 Cha Guan yang rilis di bulan Juni 2022 yang lalu, kita sudah membahas terkait dengan bagaimana selama ini Cina “menebus” dosa lingkungan mereka. Namun tentu pembahasaan menebus dosa lingkungan ini hanya bisa menggambarkan bagaimana suatu negara dalam hal ini Cina, memperbaiki lingkungan alam mereka, atas kompensasi dari pesatnya pertumbuhan dan pembangunan yang mereka lakukan selama beberapa dekade belakangan.

Akumulasi dari abainya banyak negara maju yang kemudian merasa bersalah atas lingkungan alam yang sudah mereka rusak, adalah dengan meningkatnya efek rumah kaca dan pelepasan emisi karbon ke atmosfer, yang membuat ozon rusak, lebih banyak nya polusi di udara, yang membuat apa yang disebut dengan efek Albedo pada atmosfer bumi berkurang, sehingga suhu bumi mengalami peningkatan, dan kita mengenal apa yang disebut dengan pemanasan global.

Brrrr, sok tau bener ya gue ngomongin beginian, hahaha.

Cok kita bahas yang satu ini ya. Apa hubungannya sama Cina dan Tucker Carlson nih?

Adalah Tucker Carlson, seorang jurnalis senior AS yang sudah malang melintang di dunia pemberitaan AS sejak tahun 2000 silam. Karirnya dimulai di CNN, lalu kemudian pindah ke Public Broadcasting Service AS, kemudian pindah ke MSNBC, lalu terakhir menjadi analis politik di Fox News. Pada tahun 2023 Tucker Carlson memutuskan untuk tidak memperpanjang kontrak nya dengan Fox News, dan memutuskan untuk membuat media-media alternatif, dan tentu kanal YouTube nya sendiri.

Namanya melejit karena ia mewawancarai Presiden Putin pada Februari 2024 yang lalu. Tak kurang views nya sudah melambung tinggi, karena Presiden Putin merupakan sosok yang sedang panas-panas nya diperbincangkan saat ini. Carlson juga mewawancara banyak figur yang bukan hanya kontroversial, tapi juga tidak terekspos sebelumnya secara indepth di media-media mainstream AS, apalagi di Indonesia. Misalnya saja dia pernah mewawancarai Pavel Durov, pendiri aplikasi Telegram yang juga merupakan seorang berkewarganegaraan Rusia, yang sekarang berdomisili di Qatar.

Ataupun, Carlson pernah mewawancarai Nayib Bukele, Presiden termuda El Savador yang terpilih menjadi presiden pada tahun 2019 kemarin. Sosok Presiden Nayib sempat kontroversial, tidak hanya karena usianya yang masih sangat muda untuk menjadi seorang presiden, namun manuver-manuver nya yang dianggap berani dalam memberantas gangster di negaranya, dengan membangun komplek penjara raksasa tak jauh dari Ibu Kota San Salvador. Komplek penjara raksasa itu digadang-gadang bisa menampung sebanyak 40 ribu orang[1].

Namun, hubungannya dengan episode ini, karena kita bukan lagi mengulas terkait dengan kepakaran jurnalisme dan kapasitas penulisan Carlson, ia pernah mewawancarai satu orang Rusia, yang juga merupakan taipan yang memiliki berbagai macam bisnis terutama perbankan, pupuk, dan energi. Lawan wawancara Carlson pada 4 Juli 2024 yang lalu adalah Andrey Melnichenko[2]. Kalau kita Googling namanya, kita akan melihat banyak artikel terkait pengusaha yang sudah dikenakan sanksi oleh UK, Eropa, dan AS, karena dianggap merupakan bagian dari lingkaran oligarki Putin. Well, semenjak pecah nya konflik antara Rusia dan Ukraina, Barat banyak mengenakan sanksi kepada tidak hanya perusahaan, namun juga kepada individu-individu yang dianggap dan terbukti dekat dengan Putin.

Namun, di kanal YouTube Carlson tadi, Melnichenko bilang bahwa dia pun tidak mengerti apa pasal yang dikenakan pada dirinya. Ia menyangkal ada keterlibatan langsung antara ia, keluarganya, maupun entitas bisnis nya terhadap pendukungan manuver-manuver Putin, terutama di tengah-tengah eskalasi konflik yang sampai saat ini masih terjadi.

Ibarat dalam pembahasaan kita, Melnichenko cuman bilang, kalau sanksi-sanksi yang dikenakan itu karena Barat terutama Uni Eropa, sirik dengan orang-orang berlatarbelakang seperti dia. Alasan bisa dicari-cari katanya.

Ada sesuatu yang menarik dari apa yang disampaikan oleh Melnichenko yang kalau menurut Forbes, ia memiliki kekayaan sebesar 18,8 milyar USD[3]. Sebagai seorang yang bukan hanya pengusaha, tetapi juga pengamat dalam berbagai macam bidang, Melnichenko menyampaikan beberapa hal ketika ditanya oleh Carlson terkait dengan Climate Change, atau perubahan iklim.

Apa yang disampaikannya seakan merupakan ringkasan secara filosofi, definisi, solusi, dan aksi yang bisa dilakukan bersama-sama masyarakat dunia terhadap perubahan iklim.

Kembali ke paragraf lead di pembuka video ini, ada yang disebut dengan efek Albedo. Yaitu suatu fenomena di mana ada yang disebut dengan kemampuan bumi untuk memantulkan cahaya matahari, sehingga panas yang diserap oleh kita semua yang hidup di permukaan bumi, tidak terlalu besar, dan meminimalisir adanya efek rumah kaca. Intinya, efek Albedo ini harus ditingkatkan. Semakin rendah efek Albedo yang ada di suatu daerah, atau seluruh planet bumi, akan meningkatkan suhu bumi secara signifikan.

Secara alamiah, bumi dapat memantulkan atau menahan masuknya cahaya matahari karena ada pantulan awan. Artikel dari Penn State University[4], bahkan menuliskan, apakah perlu ada semacam aerosol buatan atau teknik tertentu untuk membuat lebih banyak lagi awan yang ada di langit kita, dengan begitu tidak hanya sinar matahari tertahan, tetapi juga memantulkan cahaya matahari secara lebih efektif.

Melnichenko dalam wawancara tadi menyampaikan, bahkan, kenapa tidak kita, masyarakat dunia, mengecat atap rumah kita dengan warna putih, mengecat jalan raya dengan warna putih, memiliki mobil juga dengan cat berwarna putih. Karena warna putih merupakan warna yang baik untuk memantulkan cahaya matahari, dan paling sedikit menyerap panas matahari dibandingkan dengan warna-warna lain. Melnichenko hanya bilang, itu usul dia aja, terserah bagaimana orang menilainya.

Menurut laman Climate Portal punya MIT[5], profesor bidang geofisika Daniel Rothman menjelaskan bahwa emisi gas buang yang dihasilkan oleh aktivitas manusia hanyalah sepersepuluh dari apa yang dihasilkan oleh alam. Dalam artikel itu disampaikan, berbagai macam aktivitas alam seperti aktivitas volkanik, emisi gas buang dari aktivitas geotermal, emisi metan dari hewan-hewan yang hidup di seluruh dunia, sebetulnya jauh lebih besar dari apa yang dihasilkan oleh manusia. Aktivitas alamiah itu memiliki siklus emisi dan penyerapan emisi paling tidak sebesar 100 milyar metrik ton karbon.

Hanya saja, perkara nya, masih kata pofesor Rothman, alam memiliki mekanisme penyeimbangnya sendiri terkait dengan penyerapan karbon dan CO2. Salah satu faktor terpenting adalah peranan dari vegetasi alami yang menyerap karbon, dan kemudian merubahnya menjadi oksigen.

Duh, gue anak IPS berasa gimanaa gitu ngomongin bahasan anak-anak IPA. Untung sekarang kabarnya ga ada lagi tuh ya IPA IPS di SMA, katanya udah bisa pilih mata pelajaran sendiri ya, kayak di kuliah gitu. Kalo gue boleh milih sih, paling bagus pilih matematika, ekonomi, dan Bahasa Mandarin. Perpaduan mantap untuk melihat dan menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.

Oke. Intermezo dikit boleh dong ya.

Kembali ke laptop. Kembali ke Melnichenko.

Ia mengatakan bahwa salah satu cara untuk menurunkan suhu bumi adalah dengan menanam lebih banyak pohonan, karena hal tersebut untuk mengembalikan fungsi siklus alam dan relatif merupakan solusi yang murah dan sederhana. Melnichenko mengatakan bahwa saat ini Cina merupakan negara dengan aktivitas penanaman pohonan terbesar di dunia, yang telah menyerap emisi karbon sebesar 250 juta ton selama kurang lebih 20 tahun.

Perkataannya tersebut diperkuat dalam beberapa artikel yang menginformasikan bahwa Cina telah menanam sebanyak 78,1 milyar pohon di seantero negeri dalam kurun waktu tahun 1982 hingga 2021[6]. Itu berarti sama saja dengan penanaman sekitar 2 milyar pohon per tahun dalam kurun waktu 34 tahun. Dengan ambisinya yang luar biasa, Cina juga sedang menghijaukan gurun yang ada di wilayahnya. Seperti Gurun Gobi yang terletak di wilayah Utara hingga Barat Daya Cina yang sedang ditanami pohon, dengan target penanaman hingga tahun 2050[7]. Untuk target penanaman hingga tahun 2025 saja, Cina mengatakan akan menanam di seluas 2 juta lahan gurun yang ada[8].

Masih dari artikel yang sama dirilis oleh kantor informasi Cina, upaya penanaman itu juga ternyata membawa manfaat ekonomis bagi masyarakat lokal. Dengan adanya aforestasi dan reforestasi di Cina, masyarakat lokal dapat menghasilkan secara kumulatif angka produk hasil hutan sebesar 1,2 Triliun USD, dan banyak porsi dari angka tersebut juga diekspor ke berbagai macam negara.

Selengkapnya, bisa sama-sama kita simak di paparan China’s Policies and Actions for Addressing Climate Change yang dirilis pada tahun 2022[9].

Nah. Untuk Indonesia sendiri, ya ga jelek-jelek amat juga. Kalau Barat, terutama Uni Eropa kalau sudah berbicara soal Indonesia dan perubahan iklim, yang paling sering disasar adalah industri kelapa sawit. Kelapa sawit dianggap sebagai biang dari tingginya emisi karbon di Indonesia, selain daripada aktivitas industri yang masih menggunakan bahan bakar fosil. Tapi, mungkin terkait kelapa sawit, dan CPO bisa kita bahas terpisah lain waktu ya.

Menurut Harian Kompas edisi 5 Juni 2023[10], Indonesia telah cukup lama memiliki perhatian terhadap perubahan iklim, ditandai dengan meratifikasi UNFCC pada 1994. Kini, kebijakan mitigasi perubahan iklim yang dilakukan Indonesia secara garis besar tertuang dalam RPJMN V tahun 2020-2024, terutama dalam Prioritas Nasional 6, yakni membangun lingkungan hidup, meningkatkan ketahanan bencana dan perubahan iklim.

Capaian penurunan emisi CO2 di Indonesia pun juga dari waktu ke waktu mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dari antara target dan realisasinya, misalnya di tahun 2017, Indonesia memiliki target penurunan emisi CO2 sebanyak 39 juta ton, namun hanya tercapai 29 juta ton. Angka tersebut membaik dari tahun ke tahun, sehingga misalnya di tahun 2022 lalu target penurunan emisi CO2 Indonesia berada pada angka 90 juta ton, dengan capaian yang lebih tinggi yaitu 90,5 juta ton CO2 yang berhasil diturunkan.

Hal ini tidak terlepas juga dari keterlibatan berbagai macam kalangan, terutama kampanye penanaman mangrove, pengembalian ekosistem terumbu karang, reboisasi, reforestasi, dan lain sebagainya yang banyak dilakukan oleh aktivitas CSR baik BUMN maupun pihak swasta.

Hanya saja, memang dari segi pengumpulan data dan display data yang mungkin kita masih agak kurang ya untuk “dijual” ke publik luar. Misalnya kalau kita mau cari berapa sih sebetulnya pohon yang sudah ditanam di Indonesia selama 20 tahun terakhir. Itu sulit ya cari data terintegrasinya. Harus comot sana-sini, baru bisa dapat.

Mudah-mudahan sebagai upaya yang dilakukan terkait dengan melawan perubahan iklim di dunia ini bisa lebih baik kedepannya.

Ada bocil lagi makan es krim

Beli nya di minimarket seberang jalan

Mari bersama lawan perubahan iklim

Demi lingkungan hidup yang lebih baik kedepan

Biasa banget ga sih pantun gue, hahaha.


[1] https://www.bbc.com/news/world-latin-america-68244963

[2] https://www.youtube.com/watch?v=SKL6YDtAAB8&t=5247s

[3] https://www.forbes.com/profile/andrey-melnichenko/

[4] https://www.e-education.psu.edu/earth104/node/1439

[5] https://climate.mit.edu/ask-mit/how-much-carbon-dioxide-does-earth-naturally-absorb

[6] http://english.scio.gov.cn/chinavoices/2023-04/06/content_85213960.htm

[7] https://en.wikipedia.org/wiki/Great_Green_Wall_(China)

[8] https://english.news.cn/20230607/8f3cf73b43504ac59067e2142a652977/c.html

[9] https://english.mee.gov.cn/Resources/Reports/reports/202211/P020221110605466439270.pdf

[10] https://www.kompas.id/baca/humaniora/2023/06/05/kebijakan-indonesia-terkait-perubahan-iklim-dan-lingkungan

Leave a comment