Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.
Hanya ada 1 kemungkinan apabila Donald Trump tertembak tidak di bagian telinga pada kampanye 13 Juli 2024 yang lalu. Kemungkinan tersebut adalah timbulnya chaos dan huru-hara di seantero Amerika Serikat. Betapa tidak, Donald Trump merupakan sosok populis yang berasal dari Partai Republikan, yang juga mantan Presiden Amerika Serikat, yang juga memiliki fanbase sayap konservatif sangat besar.
Jangankan kita yang jauh secara geografis dari AS, publik AS di sana juga terperangah. Apalagi penembakan tersebut memakan korban tewas 1 orang, dan 2 orang terluka parah. Total ada 5 tembakan yang dilesatkan oleh Thomas Crooks, dan secara ajaib Trump bisa mengelak dari 3 tembakan yang trajectory tembakannya mengarah ke kepala, sebelum kemudian ia menunduk. Mungkin Trump memiliki maqom yang tinggi dibandingkan politisi lain di AS sana.
Bisa saja, Trump saat ini sudah dianggap wali oleh kalangan konservatif Amerika Serikat.
Kita tentu prihatin dengan apa yang terjadi pada Donald Trump. Kalau saja dia tidak menggeser posisi kepalanya, maka sudah selesai banyak hal terutama termasuk dengan segala kontroversi yang dimiliki seorang Donald Trump. Dan semoga hal tersebut tidak terjadi di negara kita ya.
Kabar dan pemberitaan terkait penembakan Trump seakan tidak berhenti, dan membuat elektabilitas Trump justru makin “meningkat”, karena secara top of mind, ia sudah menjadi buah bibir di berbagai macam forum, podcast, obrolan kafe, obrolan keluarga, dan lain sebagainya. Hal ini bisa dibilang sangat “membantu” Trump yang juga sedang mengikuti kontestasi Pilpres AS yang akan diselenggarakan pada 5 November 2024 nanti.
Channel Podcast seperti Joe Rogan misalnya, berhasil meraup views sebanyak 7,5 juta hanya dalam 3 hari rilis video yang membahas penembakan Trump. Atau ada juga misalnya video slow-motion penembakan Trump yang kena di telinga, yang juga sudah meraup jutaan views. Bahkan channel YouTube Demolition Ranch sampai harus mengeluarkan permohonan maaf, karena pelaku penembakan memakai kaus yang merupakan produk merchandise dari channel YouTube tersebut. Video permintaan maaf itu juga sudah mendapat jutaan views, dan mendapatkan komentar yang beragam.
Intinya secara coverage pemberitaan, Trump tidak hanya memang dapat menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang korban, tapi bisa mengkapitalisasi pemberitaan yang menyangkut dirinya paling tidak dalam beberapa bulan ini sampai masa tenang Pilpres AS di awal November nanti.
Khalayak umum juga dirasa sah-sah saja untuk berpikir/berspekulasi bahwa penembakan tersebut diprakarsai oleh rezim yang sedang berkuasa. Dengan kemudian, popularitas dan elektabilitas Partai Demokrat AS bisa terdampak secara tidak langsung.
Namun, Amerika Serikat, layaknya sebuah negara yang memang dibangun dengan fondasi-fondasi yang sangat jauh berbeda dari kita di Asia, dengan yang disebut Second Ammendment nya, maka setiap orang, dengan kondisi tertentu, bisa memiliki senjata api yang bahkan kabarnya harga nya cukup terjangkau di sana. Amerika Serikat dengan segala paham liberalisme yang dimiliki, agaknya terkena tulah sendiri.
Apalagi, kalau kita browsing di internet, kasus percobaan pembunuhan dengan penembakan senjata api terhadap kepala negara bukan kali pertama di Amerika Serikat. Tercatat nama-nama seperti Abraham Lincoln presiden ke 16 AS, James Garfield presiden ke 20, William Mc Kinley presiden ke 25, dan yang terakhir John F Kennedy presiden ke 35 merupakan para korban pembunuhan dengan penembakan di Amerika Serikat.
Nama-nama kepala negara AS seperti Theodore Roosevelt dan Ronald Reagan juga pernah menjadi target dari percobaan pembunuhan, namun berhasil selamat.
Kebebasan kepemilikan dan penggunaan senpi yang sangat leluasa seperti itu tentu membawa ekses yang sangat negatif. Di Indonesia sendiri, bukannya tidak bisa seseorang memiliki senpi, bisa, namun syarat dan ketentuan nya cukup rumit, dan harga dari senpi tersebut juga bisa dibilang sudah setara dengan 1 unit mobil MPV keluaran terbaru, sama sekali tidak murah. Sehingga, di Indonesia tidak dimungkinkan adanya kepemilikan senpi seperti se-bebas yang bisa kita temukan di AS.
Publik AS sendiri pun kalau dari berbagai macam sumber bisa kita lihat, cukup terbelah antara yang mendukung adanya pengetatan kepemilikan senpi, dan yang menolak pengetatan. Rata-rata memang pihak yang menolak adalah yang memiliki afiliasi politik Partai Republikan, dan yang setuju pengetatan lebih serius adalah mereka yang terafiliasi ke Partai Demokrat[1]. Menurut gue ini cukup aneh, karena harusnya isu ini sudah menjadi common sense dan bipartisan, artinya ga perlu ada dikotomi antara pendukung GOP atau Demokrat seakan-akan ini adalah hal yang rumit.
Dari laman Brady United dot ORG[2] saja misalnya kita sudah bisa disuguhkan ringkasan terkait dengan Gun Violence atau kekerasan berlatar senjata api di AS. Misalnya saja mereka mengatakan bahwa setiap harinya 327 orang tertembak di AS, 117 nya merupakan korban nyawa, setiap hari. Setiap hari (mungkin ini rata-rata) ada 23 anak yang dikategorikan usia minor, tertembak di AS, dengan berbagai macam motif penembakan tentunya. Atau misalnya 1 dari 5 orang di AS mengaku memiliki anggota keluarga yang pernah menjadi korban penembakan.
Sebetulnya, secara perbandingan, sebelum kejadian-kejadian penembakan massal yang memakan banyak korban jiwa, di banyak negara Eropa, Jepang, Australia membolehkan kepemilikan senjata api dengan pembatasan-pembatasan tertentu. Namun, misalnya dulu di Norwegia pada tahun 2011 ada penembakan massal yang memakan korban jiwa total sebanyak 77 orang yang sebagian besar adalah berusia muda. Pelakunya adalah Anders Breivik yang merupakan salah satu otak utama yang memiliki haluan ideologi garis kanan ekstrim. Lalu kemudian di tahun 2018[3], parlemen Norwegia meloloskan UU yang membuat kepemilikan senjata semiotomatis sesuatu yang mustahil.
Misalnya juga di Australia, setelah ada kejadian tragedi penembakan massal di tahun 1996, yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa sebanyak 35 orang, membuat pemerintah federal Australia bersepakat untuk membuat hukum setara UU yang menghimbau warga Australia untuk menyerahkan senjata api yang dimiliki, lalu kemudian akan dibeli oleh pemerintah federal masing-masing dengan ketentuan harga tertentu. Paling tidak terdapat sekitar 650 ribu[4] pucuk senpi laras panjang yang berhasil dikumpulkan oleh pemerintah Australia dari tangan warganya.
Atau misalnya di Inggris. Setelah kejadian yang dikenal dengan Pembantaian Hungerford tahun 1987, UU terkait dengan pengetatan kepemilikan senjata api semakin diperketat.
Di AS sendiri, ini pun agak lucu, karena berbagai macam sumber, hasil penelitian, mereka punya parameter dan definisi nya sendiri juga ya; jadi ada perbedaan angka dengan melihat fenomena penembakan massal. Misalnya saja Statista, mencatat sejak tahun 1982 – 2022 ada sebanyak 148 kejadian penembakan massal di AS[5]. Lalu ada Washington Post yang mengatakan bahwa sejak tahun 1967 – 2019 ada sebanyak 163 penembakan massal[6]. Atau misalnya the Violence Project of the National Institute of Justice mencatat sejak tahun 1966 hingga 2022 ada sebanyak 185 penembakan massal. Jadi ya, dari soal definisi, mereka saja mungkin sudah bisa sibuk sendiri berdebat, padahal esensi nya ada di perlindungan terhadap warga negara mereka sendiri atas aksi kekerasan yang berlatar penembakan.
Yang cukup dekat dan gue sendiri masih ingat adalah penembakan di salah satu supermarket di Kota Buffalo, State of New York Bulan Mei tahun 2022 lalu yang mengakibatkan korban jiwa sebanyak 10 orang. Pelaku nya merupakan seorang White Supremacist atau radikalis-rasis kanan yang merasa dirinya superior dibandingkan ras yang lain. Dan yang lebih horor nya lagi, kejadian penembakan ini sengaja direkam oleh pelaku dan kalau ga salah sempat live ya? Gila ga sih?
Nah, terus gimana soal Cina.
Sepengalaman gue studi dan bekerja di Cina dengan total waktu 5 tahun, yang gue tau, kepemilikan senjata api di Cina untuk orang sipil itu sama aja nyetor nyawa ke aparat hukum. Ya kalau untuk keperluan berburu, atlet menembak, itu tentu ada pengecualian ya.
Ada artikel menarik di website CNN tahun 2021 lalu. Judulnya kira-kira bisa diartikan ‘Cina dan AS lahir dari sejarah konflik bersenjata, namun sekarang berada pada ujung yang bersebrangan’[7]. Artinya AS berada pada ujung sebelah sini, di mana kekerasan berlatar senjata api banyak ditemukan, dan Cina di sebelah sini, sangat sedikit atau rare case terjadi. Dan kalaupun ada, di artikel tersebut menulis, itu bukan penembakan massal.
Terus nanti ada yang nyeletuk, terus, itu airsoft gun made in China gimana? Ya memang, banyak produk airsoft gun yang diproduksi di Cina, tapi jangan coba-coba nenteng airsoft gun di ruang terbuka di Cina, bisa-bisa langsung didor sama polisi..! CCTV di sana di mana-mana. Ga bisa kita iseng-iseng nge prank begitu. Ya kalo produk kan mereka bikin sih bikin aja, tapi banyaknya untuk pasar ekspor. Mulai dari yang harganya cuman cepek sampai puluhan juta, Cina bisa bikin itu semua.
Untuk aparat keamanan, sama seperti di UK, polisi-polisi di Cina terutama Polantas, engga bawa senjata misalnya pistol begitu ya kalau di jalan-jalan. Kecuali untuk misalnya SWAT, polisi militer, atau semacam Brimob nya, ya mereka baru bisa bawa senjata api dengan berbagai macam ukuran. Keberadaan polisi atau tentara yang membawa senjata, bukannya ga ada ya di Cina, ada, banyak, terutama ketika ada kegiatan-kegiatan besar, atau di pusat-pusat keramaian, yang kesemuanya itu memang SOP standar keamanan. Bukan berarti karena di Cina ada suatu kegentingan, makanya aparat keamanan yang membawa senjata api sudah standby.
Kalau misal kita ke Hong Kong, memang agak beda ya. Karena polisi-polisi di sana, terutama yang patroli, itu mereka memang sudah SOP nya membawa pistol dan perlengkapan lainnya. Kembali lagi, bukannya berarti Hong Kong itu tidak aman, tapi prosedurnya sudah mengatur sedemikian rupa. Apalagi dengan Hong Kong sudah menjadi bagian dari Cina sejak serah terima dulu dengan Britania Raya, artinya secara hukum penggunaan senjata api, Cina bisa cukup fleksibel, tapi tentu hanya untuk kalangan aparat keamanan ya.
Sebetulnya, yang pengen gue sampein di episode ini adalah, come on, seberapa tinggi level kita menjunjung tinggi HAM sih sebenarnya? Coba lihat banyak kasus penembakan massal di US, dengan perbandingan berbagai macam negara, dan bisa kita lihat dengan gamblang semua angka nya, kok ya seakan banyak dari kita masih pro dengan liberalisme tak terbatas.
Posisi kita sebagai warga negara Indonesia, melihat hal ini juga harus clear menurut gue. Untuk menilai dan menimbang sebetulnya bagaimana pengelolaan suatu negara dilakukan, dilihat dari penerapan regulasi teknis, kita bisa tahu sebetulnya pada sisi mana pemerintah suatu negara berpihak.
Hayoooo, dengan kejadian penembakan Trump kemaren, elektabilitas dia kayaknya langsung naik ya? Ini lu pada udah pada masang berapa nih? Antara Trump menang sebagai Presiden AS selanjutnya, atau Trump kalah?
Dar der dor, suara memekakkan telinga
Korban jiwa telah berserakan seakan nyawa tak berharga
Manusia memang sungguh tak terduga
Kadang peduli, kadang tidak peduli, sampai semua dibuat menganga
[1] https://en.wikipedia.org/wiki/Gun_violence_in_the_United_States#Violent_crime
[2] https://www.bradyunited.org/resources/statistic
[3] https://www.cfr.org/backgrounder/us-gun-policy-global-comparisons
[4] https://www.cfr.org/backgrounder/us-gun-policy-global-comparisons
[5] https://www.statista.com/statistics/811487/number-of-mass-shootings-in-the-us/
[6] https://en.wikipedia.org/wiki/Mass_shootings_in_the_United_States#Frequency_and_locations
[7] https://edition.cnn.com/2021/09/20/china/gun-control-us-china-mic-intl-hnk/index.html