ASEAN Kawasan Tumpuan

Walaupun ada insiden kesalahan penyebutan nama Presiden Prabowo disebut Jokowi, namun hal tersebut nampaknya tidak mengurangi kekhidmatan pelaksanaan KTT ASEAN ke 47 yang telah selesai dilaksanakan pada 26-28 Oktober 2025 lalu. Hanya saja, memang itu hal yang sangat ceroboh, bisa melakukan kesalahan penyebutan kepala negara. Bayangkan saja kalau yang salah disebut itu misalnya Presiden Putin atau Trump, bisa langsung di-nuklir mungkin rumah panitia acaranya.

Dari beberapa klip media sosial, Prabowo nampak sangat akrab dan sering bersama-sama dengan Dato Seri Anwar Ibrahim. Bahkan beberapa kali membopong beliau untuk menaiki/menuruni tangga. Anwar Ibrahim tentu tidak berani mengelakkan gesture hangat Presiden Prabowo yang bisa dibilang sudah menjadi hopeng beliau sejak lama. Hubungan-hubungan personal–dan kultural–seperti inilah yang paling tidak salah satu nya membuat ASEAN merupakan kawasan yang bisa dibilang menjadi tumpuan, panutan, dan acuan di masa depan.

Betapa tidak, dari berbagai macam konflik yang secara paralel sedang mendera kawasan Timur Tengah, Eropa Timur (Ukraina), Afrika Utara (Sudan), Asia Selatan (India-Pakistan, Afghanistan-Pakistan) dan kini Karibia/Amerika Latin (karena ulah Trump), membuat ASEAN menjadi salah satu kawasan atau organisasi kerja sama kawasan di mana para anggota nya memiliki komitmen tinggi untuk saling menahan grasa-grusu satu sama lain.

Walaupun pada akhir Mei 2025 lalu, sempat terjadi (kembali) clash perbatasan antara Thailand dan Kamboja, namun hal tersebut tidak tereskalasi menjadi konflik yang lebih luas. Bahkan Donald Trump sangat bersemangat untuk menghadiri KTT ASEAN tempo hari lalu itu untuk juga menyaksikan piagam perdamaian antara Thailand dan Kamboja. Walaupun, kalau dilihat-lihat, ya itu bukan konflik seperti hal nya konflik-konflik yang sedang paralel berlangsung. Paling tidak, kalau dilihat tahun 2025, kawasan Asia Tenggara bisa dibilang kawasan paling kondusif.

Betapa tidak, bahkan kalau dibandingkan dengan Uni Eropa, ketika kita minta platform AI untuk memberikan kita ringkasan perbandingan antara 2 kawasan besar tersebut, maka akan terlihat bahwa ASEAN memiliki kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa. Oleh karena itu lah para founding fathers (states) yang membentuk ASEAN menyepakati beberapa hal yang dengan demikian hingga saat ini, ASEAN dan Asia Tenggara bisa menampilkan ke dunia mengenai arti kedamaian yang haqiqi.

Hal-hal tersebut antara lain bahwasanya di ASEAN mengenal dengan norma 1) Non-intervensi, 2) Diplomasi senyap dan konsensus, 3) Diplomasi yang mencegah. Paling tidak dengan adanya 3 nilai dasar ini, hal-hal seperti layaknya dinamika yang ada di forum atau kawasan lainnya, bisa di-contain atau diatasi sedini mungkin sebelum meluas.

Ya, tidak dipungkiri dulu ada kalanya (zaman modern) misalnya Soekarno menggelorakan Ganyang Malaysia. Tapi, kalau dilihat baik-baik, sentimen anti-Malaysia lebih dikarenakan adanya intervensi atau pengaruh dari Britania Raya yang kala itu masih mencengkram kuat Malaysia. Segala bentuk kolonialisme dan neokolonialisme harus ditentang oleh Indonesia, karena itu merupakan amanat dari UUD 1945. Kalau ada pihak-pihak dalam negeri yang misalnya mendukung genosida, mendukung penjajahan, mendukung intervensi unilateral (apalagi sampai menimbulkan korban jiwa dan collateral lainnya), maka niscaya yang bersangkutan sedang berada di atas laut, bukan di dataran atau wilayah Republik Indonesia yang sedari awal sudah anti-penjajahan.

Atau misalnya bagaimana ada dinamika ketika etnis Rohingya di Myanmar sempat dipersekusi dan menghadapi diskriminasi yang tinggi, hingga menimbulkan korban jiwa, arus pengungsi, dan masalah multidimensi lainnya. Namun, karena kecakapan dan kematangan yang diasah terus-menerus oleh para elit ASEAN, pihak otoritas Myanmar bisa melunak dan memilih opsi-opsi alternatif.

Memang, kalau berbicara terkait dengan geopolitik, kita tidak bisa menggunakan kacamata kuda atau berpikiran dengan rangkaian seri, harus paralel dan mengerti porsi prioritas. Indonesia sendiri sebagai suatu negara yang memiliki kompleksitas nya sendiri, tentu memerlukan sumber daya yang tidak sedikit untuk menyelesaikan satu-persatu permasalahan yang ada. Namun, di sisi lain, apabila isu-isu atau permasalahan yang ada di kawasan tidak secara paralel diselesaikan, maka ibarat truk, Indonesia justru akan mengalami permasalahan secara “double gardan”. Hanya saja bedanya, kalau di terminologi kendaraan, double gardan berarti sesuatu yang memudahkan, namun di isu sosial dan pengelolaan negara, hal tersebut berarti ada lebih banyak permasalahan yang dihadapi secara bersamaan, dan itu tidak baik.

Dengan ASEAN juga merupakan organisasi kerja sama regional yang sudah berdiri sejak tahun 1967, bisa dibilang organisasi ini sudah eksis selama puluhan tahun, dengan asam garam nya sendiri. Bahkan ketika KTT ASEAN ke 47 kemarin, Timor Leste secara resmi bergabung dengan ASEAN, hingga banyak beredar klip video yang memperlihatkan betapa mengharu-biru nya suasana yang ada terutama dari pihak delegasi Timor Leste. Timor Leste sudah mengajukan keinginannya untuk menjadi anggota ASEAN sejak tahun 2011. Kalau dilihat, cukup lama proses “penerimaan” yang ada. Ini menunjukkan bahwa di internal ASEAN sendiri bukannya tidak ada pro-kontra, apalagi notabenenya penambahan/pengurangan anggota, yang memiliki konsekuensi yang tentu tidak sedikit. Namun, pada akhirnya elit ASEAN menemukan titik temu nya sendiri, dan kemudian Timor Leste bergabung menjadi anggota ke-11 ASEAN.

Padahal bisa saja Timor Leste bergabung ke organisasi Forum Kepulauan Pasifik yang dikomandoi oleh Australia. Namun, terlihat jelas bahwa Timor Leste sudah tidak mau lagi dikelabui Australia1 untuk kedua kali nya, dan lebih memilih bergabung dengan para sepupu nya di ASEAN.

Tidak hanya bahwa ada aspek-aspek kultural dan historis yang juga menjadi pengikat ASEAN dan Asia Tenggara sebagai salah satu kawasan yang paling stabil di dunia. Upaya-upaya rasional dan bersifat kontemporer pun terus-menerus dilakukan guna menjaga keutuhan kawasan, menekan terjadi nya eskalasi konflik, dan mencegah timbulnya konflik-konflik baru. Kedekatan kultural dalam hal ini tentu memainkan peranan penting.

Manusia yang bermukim di Asia Tenggara merupakan manusia yang masih bisa mengedepankan dialog, ketimbang konfrontasi fisik, apalagi sampai menimbulkan korban jiwa. Betapa hancur-lebur nya Timur Tengah, yang kalau dipikir-pikir, akar dari permasalahan mereka salah satu nya adalah betapa mereka memiliki kultur konfrontatif, dan susah sekali untuk diajak berbicara. Oleh karena itu dalam ajaran agama-agama samawi, banyak nabi atau Rasul yang diturunkan di Timur Tengah, bukan? Karena kalau di Asia Tenggara, para nabi dan Rasul tentu tidak menghadapi tantangan psiko-sosial yang se-rumit manusia-manusia Timur Tengah.

Dalam wawancara nya dengan Financial Times2, Perdana Menteri Singapura Lawrence Wong mengungkapkan bahwa ASEAN merupakan kawasan yang memiliki ketahanan yang cukup baik. Peran ekonomi/negara seperti Singapura yang banyak mengandalkan dari jasa jalur perdagangan juga sudah selayaknya mengedepankan upaya-upaya untuk memecah kebuntuan, bukan malah ikut menjadi penyebabnya. Dalam hal tersebut, dan dalam konteks dengan ASEAN, Singapura aktif untuk bekerja sama dengan misalnya Uni Emirat Arab dalam koridor kerja sama sebagai ekonomi yang memiliki karakteristik sama, tidak memihak baik itu blok AS maupun Cina. ASEAN dan negara-negara anggotanya saya pikir memiliki konsensus tersebut, karena sudah berjalan puluhan tahun, sudah tidak perlu lagi istilahnya memberikan ceramah kepada negara-negara ASEAN tentang bagaimana menjaga stabilitas kawasan.

Kawasan yang relatif stabil seperti ASEAN perlu mengedepankan nilai-nilai dan falsafah kerja sama yang pragmatik. Baik itu intra-ASEAN sendiri maupun dengan mitra eksternal ASEAN.

Kembali misalnya dibandingkan dengan Uni Eropa, ASEAN memiliki luasan wilayah yang kurang lebih sama. Kendati ASEAN dan Uni Eropa memiliki gap GDP yang cukup besar, namun ASEAN masih bisa melejit dengan potensi SDM yang jauh lebih besar dari Uni Eropa, dan rerata memiliki usia muda dibandingkan dengan penduduk Uni Eropa yang sudah aging.

Baik itu bekerja sama antaranggota ASEAN maupun eksternal ASEAN, organisasi yang memiliki populasi hampir berjumlah 680 juta jiwa ini harus mengedepankan kekuatan SDM nya. Kecakapan SDM Asia Tenggara saya kira sangat bersaing bila dibandingkan dengan diaspora 2 negara dengan populasi terbesar yaitu India dan Cina. Selain soal kecakapan, kita banyak menemukan peluang dari SDM negara-negara Asia Tenggara ada pada relatif patuh terhadap regulasi di lingkungan baru yang ada. Era media sosial yang semakin masif seperti ini memperlihatkan banyaknya keluhan atau kontradiksi misalnya para pekerja ekspat/migran asal India yang bermukim di Jepang, harus berbenturan dengan norma dan adat setempat. Saya kira SDM asal Asia Tenggara memiliki prinsip ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’, sehingga memiliki track record yang paling tidak lebih baik dari misalnya sejawat dari negara-negara non-ASEAN.

Pada akhirnya, negara-negara maju yang sedang menikmati hasil dari jerih payah mereka puluhan tahun yang lalu, memiliki pertumbuhan yang relatif stagnan dan monoton. Untuk mengisi kekosongan demografi itu, mungkin warga Asia Tenggara tidak akan bisa menggantikan sepenuhnya identitas setempat, namun dari diaspora warga Asia Tenggara itu sendiri dapat menyerap nilai devisa yang sangat besar. Dengan juga memiliki pemahaman ‘banyak anak banyak rejeki’–kecuali Singapura, laju pertumbuhan penduduk secara organik (juga secara kultural) tidak bisa dielakkan.

Menurut Bank Dunia3, misalnya saja Indonesia yang akan mencapai pertumbuhan sekitar 297 juta jiwa pada tahun 2030. Saya sendiri tidak bisa membayangkan sebanyak apa penduduk Indonesia dengan jumlah yang mendekati 300 juta begitu? Atau misalnya Filipina yang ditaksir akan memiliki populasi sebanyak 120 juta jiwa di tahun yang sama, di mana saat ini (2025) estimasi penduduk Filipina hanya sebesar 114 juta jiwa. Brunei Darussalam dan Singapura berada pada peringkat paling bontot menurut estimasi tersebut.

Tidak hanya bagaimana menjadikan SDM sebagai kekuatan utama ASEAN untuk bisa hadir sebagai penyuplai SDM berkualitas untuk mengisi kekosongan manpower di dunia yang lebih menantang kedepannya, namun juga bagaimana jumlah SDM yang banyak tersebut bisa saling terkoneksi dalam koridor ASEAN. Walaupun pemahaman dan konsensus itu bisa dicapai dengan mudah di tingkat elit dan kalangan terdidik, untuk bisa memasyarakatkan semangat ASEAN dengan nilai-nilai khas yang dimiliki, merupakan tugas generasi dan menjadi amanat yang harus dijalankan oleh semua warga ASEAN.

  1. https://www.kompas.id/artikel/timor-leste-australia-pecah-kongsi ↩︎
  2. https://youtu.be/NXSI4cCm3BM?si=CE2laaJ8vObSwEvq ↩︎
  3. https://www.imf.org/external/datamapper/LP@WEO/VNM/IDN/PHL/MMR/MYS/KHM/LAO/THA/SGP/BRN ↩︎

Leave a comment