Indonesia (Tidak) Kapok Bencana

I’m really lost for words, terutama menggambarkan betapa gagap nya Pemerintahan Prabowo dalam merespon dan menangani bencana yang sebagian besar melanda wilayah Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat.

Ralat. Kegagapan ini bukan hanya ditujukan kepada Pemerintah Pusat dengan semua perangkat nya. Tapi juga siapapun manusia yang sebetulnya memiliki tanggung jawab riil maupun moral terhadap wilayah-wilayah yang terdampak bencana. Paling tidak sudah hampir 1000 orang dinyatakan tewas (25/12/08), namun, masalahnya bukan hanya tidak ditetapkannya status Bencana Nasional, tapi juga bagaimana ketidaksiapan semua pihak (termasuk masyarakat nya) dalam menghadapi perubahan iklim, perubahan lingkungan, yang sebetulnya merupakan matematika sederhana bahwa alam akan membalas.

Sudah dibahas panjang lebar dalam Podcast Bocor Halus Tempo yang mendatangkan narasumber dari Greenpeace Indonesia. Saya bukanlah fans dari Greenpeace, karena tidak semua kegiatan mereka itu juga membawa dampak riil. Namun, untuk perihal kejadian bencana Sumatera bagian Utara ini, seharusnya Presiden RI mengambil catatan dari apa saja yang narasumber Greenpeace sampaikan.

Secara kultur, masyarakat Indonesia bukanlah masyarakat yang bisa sadar sendiri. Bentukan dari warisan penjajahan, masa kemerdekaan, masa reformasi, liberalisai demokrasi, sampai saat ini, membuat masyarakat Indonesia pada umumnya tidak dibuat pintar, hanya menjadi objek saban Pemilu saja.

Apa hubungannya?

Ada 1 meme yang menuliskan ‘Kalau banjir datang, ingat Rp 20.000 yang kamu terima waktu Pemilu’. Tulisan yang ada di bagian belakang bak truk itu seakan hanya lelucon singkat, yang sebetulnya sangat relevan dengan apa yang sedang terjadi di Indonesia.

Kalau diingat kembali, sebentar saja, bahwa apa yang terjadi dan berdampak buruk pada masyarakat, adalah karena masyarakat nya sendiri yang mau memilih para politisi yang tidak mengedepankan kemampuan, tidak mengedepankan kejujuran, yang pada akhirnya menelurkan kebijakan-kebijakan yang bukannya berdampak positif, tapi malah negatif. Atau, sama sekali tidak mengeluarkan kebijakan apapun.

Apalagi ada salah satu oknum kepala daerah yang justru malah berangkat Umroh ketika pemulihan bencana sedang berjalan. Ya, itu salah masyarakat nya sendiri. Kenapa mau saja menerima uang Serangan Fajar waktu Pemilu 2024 kemarin1, salah kalian sendiri, dongo!

Ketidaksanggupan masyarakat Indonesia dalam menangani krisis yang terjadi di lingkungannya, niscaya harus didongkrak oleh pelaksanaan pelayanan publik yang mumpuni. Harusnya, ada semacam instrumen yang berfungsi di kala darurat untuk mengambilalih kekuasaan eksekutif daerah, untuk diambil ke Pusat, sehingga ada transformasi yang lebih terarah, ketimbang menyerahkan sendiri kepada kepala daerah yang sudah terang-benderang tidak memiliki kemampuan untuk mengurus daerahnya sendiri. Bagaimana mungkin seorang yang pikirannya waras bisa berpikiran untuk pergi melaksanakan ‘ibadah’ di saat masyarakat nya sendiri membutuhkan pemimpin. Kondisi-kondisi ekstrim seperti ini membutuhkan solusi-solusi yang ekstrim juga.

Namun, mau bagaimana, liberalisasi demokrasi membuat masyarakat Indonesia tidak semakin pintar, dibuang ketika sudah tidak dibutuhkan oleh para politisi, lalu kebijakan-kebijakan yang ada juga tidak bisa menangkap kebutuhan riil masyarakat–boro-boro untuk memikirkan antisipasi bencana alam.

Bukan, saya percaya tidak ada yang namanya bencana alam. Ada nya perubahan iklim, iya. Adanya anomali cuaca, iya. Namun Tuhan tidak akan menurunkan bencana yang mengakibatkan korban di pihak manusia, kalau manusia nya tidak sembrono at the first place.

Misalnya saja, sejak jaman dahulu di daerah-daerah Indonesia, banyak rumah-rumah yang dibangun dengan struktur panggung, rumah panggung. Bentuk rumah yang berada 1,5 meter – 2 meter dari atas tanah, sebetulnya merupakan warisan pengetahuan indigenous yang dimiliki oleh masyarakat terdahulu, tentu dengan alasan-alasan yang spesifik. Dengan struktur rumah yang ditinggikan, banjir atau genangan yang meluap dari sungai atau badan air, atau apa pun itu, tidak akan sampai masuk ke rumah manusia. Itu lah juga mengapa banyak hewan yang membuat rumah mereka ada di ketinggian, kan? Karena mereka tau kondisi alam seperti apa. Selain tantangan alam, tentu ada alasan-alasan rasional lain seperti ancaman hewan liar yang tentu akan lebih sulit untuk mengancam jiwa manusia dengan struktur panggung.

Namun, kalau kita melihat di daerah-daerah yang memiliki pengetahuan indigenous tersebut, abai terhadap warisan tak benda (pengetahuan) tadi, dan membuat rumah-rumah hunian sesuai dengan kalkulasi pendek semata. Alhasil, misalnya di daerah-daerah seperti Kalimantan yang kerap menghadapi naiknya genangan musiman, harus menerima pil pahit dan menjadi “korban” dari siklus cuaca.

Ya tentu, kesalahan-kesalahan manusia yang snowball (semakin lama semakin besar), diperparah dengan keserakahan penggunaan lahan yang sebetulnya merupakan ‘wetland’, menjadi kawasan permukiman. Demokrasi yang liberal memungkinkan ini semua terjadi. Sehingga, tidak ada kontrol yang tegas, seakan semua pihak (terutama daerah) bisa mengambil keputusan tanpa ada supervisi ketat dari Pusat. Indonesia sudah lupa dengan bencana di Kota Palu, Sulawesi Tengah tahun 2018 lalu yang mengakibatkan lebih dari 4000 jiwa menjadi korban nya2. Salah satu keserakahan yang paling nyata adalah adanya kawasan permukiman manusia di daerah yang sebetulnya Zona Merah rawan likuifaksi tanah. Namun, seingat saya pada bencana tersebut tidak ada pihak pengembang, atau oknum Pemda yang ditahan karena memberikan ijin pembangunan kawasan permukiman di Zona Merah tadi. Koreksi kalau saya salah.

Don’t make me started on how political parties in Indonesia do not give a fudge on environmental issue. Untuk pemahaman kepemimpinan dasar saja mungkin banyak dari partai politik yang tidak betul-betul menyampaikan kepada kader-kader nya. Karena lansekap masyarakat Indonesia yang rerata hanya memiliki pendidikan SMP, tokoh-tokoh politik elit menyikapi nya dengan menerapkan politik patron-klien. Apalagi, dengan kapasitas rerarta pendidikan masyarakat yang seperti itu, untuk hanya sebatas disuguhkan konten-konten keagamaan semata, masyarakat merasa sudah cukup, padahal sama sekali tidak.

Kondisi-kondisi ekstrim ini dapat dipahami dan ditinjau kembali, apabila Indonesia masih pada dalam masa-masa penjajahan. Yang berarti, masyarakat Indonesia sendiri pada umumnya tidak bisa menentukan nasib mereka sendiri, karena dalam masa terjajah, pergerakannya selalu dibatasi, penuh kekerasan, teror dan lain sebagainya. Namun, untuk masa-masa yang apalagi Indonesia sudah melewati masa reformasi, untuk bisa hanya menyerahkan semuanya kepada yang Di Atas, merupakan sesuatu yang sangat konyol.

Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, kalau mereka tidak merubah nasibnya sendiri. Anda tentu masih hapal, kan? Kutipan ayat Al-Qur’an yang kerap kali dibacakan dan dijadikan materi khutbah dan kultum, namun pengamalan nya sangat minim di tengah-tengah masyarakat yang kabarnya menganut Agama Islam. Atau, hanya sampai tenggorokan saja keimanannya?

Kalau tidak hanya sampai tenggorokan saja, lihat lah Presiden Park Chung Hee yang dulu sempat melakukan kunjungan ke Malaysia dan tertarik dengan potongan ayat Al-Qur’an tersebut, sehingga membuat sang Presiden Tangan Besi itu berpikir keras. Sekembalinya ke Korea Selatan, Presiden Park menerapkan skema Saemul Undong3 untuk mengangkat harkat dan derajat kehidupan masyarakat Korsel yang pada tahun 60an dulu masih sangat miskin dan merana. Saemul Undong kira-kira adalah skema gotong-royong nasional untuk mengedepankan partisipasi publik untuk membangun dan memperbaiki daerahnya secara bersama-sama. Karena terinspirasi dari ayat Al-Qur’an tersebut, dan saya yakin seorang Park Chung Hee baru sekali dia terpapar konten keagamaan Islam, namun dia berhasil menerapkan apa yang Tuhan YME maksudkan. Sementara, masyarakat Indonesia yang nampaknya sudah terlampau sering diceramahi, seakan tuli dan amnesia terhadap konten/materi yang agama nya sendiri sampaikan. Cih.

Sebal sekali melihat tokoh-tokoh politik baik itu level Menteri, Anggota DPR, anaknya Menteri yang sudah merasa punya posisi paling hebat, dan lain sebagainya yang menjadikan momen kebencanaan sebagai panggung politik mereka. Namun, kalau dipikir lagi, mereka-mereka itu bisa eksis karena siapa? Masyarakat sendiri, tentu. Partai politik itu eksis dan ada kalau masyarakat (demos) in favor terhadap mereka semua. Kalau sudah tidak in favor, tentu suatu entitas politik/masyarakat akan hilang dengan sendirinya. Sudah banyak kan partai-partai politik yang tadinya eksis, kemudian hilang entah ke mana.

Namun, pertanyaannya, apakah setelah kejadian bencana di Sumatera bagian Utara ini, akan lantas membuat masyarakat menjadi tau apa yang harus dia lakukan? Saya rasa tidak, akan kembali ke kedunguan awal, factory reset nya adalah kebodohan. Nanti Pemilu 2029 pun akan sama, menerima Serangan Fajar, lalu yang terpilih adalah orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kepedulian terhadap mereka, lalu datang anomali alam, lalu menangis tersedu-sedu seolah ini adalah ujian Tuhan. Fudging hell.

Banyak kita lihat, bahkan di kota-kota besar, masyarakat itu sendiri lah yang “bersepakat” atas kehancuran lingkungan mereka sendiri. Misalnya yang paling sederhana adalah perilaku membakar sampah. Sangat sepele, bukan? Tapi, karena masyarakat di lingkungan tersebut bersepakat bahwa hal tersebut adalah normal, sakit dan sehat adalah datangnya dari Tuhan, umur panjang atau pendek sudah ada yang menetapkan, cacat atau kemalangan fisik yang timbul karena perilaku bakar sampah adalah cobaan dunia, itu salah siapa sebetulnya? Tidak melulu memang semua salah pemerintah. Apalagi untuk kota besar seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Makassar yang sudah memiliki infrastruktur yang sudah sangat mumpuni dalam menangani sampah, namun perilaku sebagian masyarakat yang tidak peduli, yang kemudian membuat anggota masyarakat lain “bersepakat” untuk mengabaikan kebersihan dan kesehatan lingkungan, ini PR terbesar nya.

Sebagai ilustrasi sederhana saja. Tidak usah jauh-jauh ke pelosok-pelosok mana untuk melakukan survey. Lihat saja di sekitar Jakarta–karena asumsinya di Jakarta petugas kebersihan lebih cekatan–kalau kita lihat, lingkungan yang paling banyak sampah berserakan adalah di lingkungan sekolah! Coba cek di lingkungan kita masing-masing. Justru di situ lah letak ironis nya.

Kepemimpinan negeri ini dari tingkat paling bawah hingga paling tinggi didominasi oleh figur-figur hasil dari politik uang, sehingga kebijakan yang ditelurkan adalah juga kebijakan-kebijakan jangka pendek, misalnya saja makan bergizi gratis! Yang dipenuhi hanya perutnya semata, yang penting kenyang, tidak perlu berpikir apa-apa lagi.

Alih-alih meningkatkan kesejahteraan guru, yang kemudian para guru itu akan lebih happy dan tenang dalam melaksanakan tugasnya, sehingga anak-anak yang notabenenya sudah diberitahu di sekolah soal perilaku tepat buang sampah, tapi nyata nya lingkungan paling kotor itu ada di sekitar sekolahan. Ya, memang tidak di dalam sekolahnya, karena ada petugas kebersihan dll. Di sebelah luarnya, di warung-warung tempat anak-anak itu jajan dan menghabiskan waktu bermain. Ketika besar, ya tentu saja mereka akan melakukan hal yang sama, tanpa otak nya diajak untuk berpikir peduli terhadap lingkungan.

Persetan.

Ada memang orang-orang seperti Dedi Mulyadi yang nyentrik sedari awal beliau menjabat Gubernur Jawa Barat, namun dibalik gaya nya yang nyentrik, badan nya yang kecil, pakaian serba putih, tindakan beliau tegas terhadap penjagaan lingkungan fisik alam. Beliau tidak peduli dengan bagaimana para oknum masyarakat melawan kebijakan beliau yang benar secara hukum dan peraturan. Beliau mau untuk berdebat (dan dijadikan konten media sosial), turun ke titik-titik di mana reformasi kebijakan lingkungan sedang beliau terapkan. Aura beliau sangat terasa bisa menundukkan sesiapa yang berani melawan kehendak alam. Alam ingin baik, alam tidak ingin manusia menjadi korban nya, namun manusia yang selalu mengangkangi alam.

Lantas, apabila ada orang seperti Gubernur Jawa Barat KDM bisa melakukan reformasi kebijakan lingkungan alam, kenapa kepala-kepala daerah lain tidak bisa? Kenapa Gubernur Aceh tidak melakukan kerja-kerja pra-bencana sebelumnya? Kemana saja Gubernur Sumatera Utara sampai-sampai lingkungan kampus USU yang tidak pernah terdengar kebanjiran, malah tergenang luar biasa. Kemana saja Buya Gubernur Sumatera Barat yang sudah pernah menjadi Walikota Padang 2 periode dengan ceramah-ceramah nya yang luar biasa. Kemana mereka semua itu pra-bencana?

Apalagi, pihak BMKG Pusat sudah menyampaikan akan adanya potensi Siklon Senyar4 yang walaupun baru pertama kali terjadi seumur RI merdeka, namun kenapa peringatan tersebut tidak diindahkan oleh para kepala daerah itu? Padahal mudah saja untuk melakukan (menyuruh jajaran) soal potensi bencana yang ada di wilayah kerja mereka masing-masing. Pihak-pihak seperti BRIN, BMKG, BNPB yang memiliki tupoksi teknis terkait alam juga sering melakukan rilis jauh-jauh hari sebelum terjadinya fenomena alam5. Baca tren nya, siapkan rencana nya, lakukan aksi nya. Ga sulit. Yang sulit adalah karena Anda semua bebal.

Ada apa dengan pikiran-pikiran para ‘amil dan para pemimpin yang semuanya muslim, semuanya paham bahwa akan ada yang namanya Padang Mahsyar, semuanya paham bahwa para pemimpin itu akan berada paling belakang karena amalan mereka harus dipertanggung jawabkan di akhirat dikupas satu-per-satu.

Bahkan di negara yang bisa dibilang liberal, Mbah nya Liberalisme, Amerika Serikat, mereka juga kerap ditempa fenomena alam terutama tornado. Di sana, peringatan adanya siklon yang bisa memicu tornado yang sangat dahsyat, berpotensi merugikan manusia, BMKG AS paling lambat akan mengumumkannya 3 hari sebelum kejadian terjadi, bergantung pada lokasi yang dilewati oleh siklon tersebut. Bahkan peringatan bisa sampai pada telepon genggam masing-masing individu rakyat di sana, sehingga tidak lagi ada alasan bahwa mereka tidak tau ada informasi tersebut. Lalu, kemudian masyarakat nya sudah memiliki kesadaran penuh akan kebencanaan dengan memilih untuk mengungsi, atau berlindung di rubanah-rubanah yang mereka sudah miliki.

Artinya, Indonesia lebih parah soal ini dibandingkan dengan Amerika Serikat. Ini bukan masalah masyarakat AS punya GDP per capita yang jauh lebih banyak dari masyarakat Indonesia. Bukan juga masalah bagaimana 40% masyarakat mereka merupakan lulusan luar negeri, bukan. Ini bagaimana soal mengabaikan sains dan terlalu meremehkan tanda-tanda alam. Yang ironisnya kebanyakan respon yang dilakukan adalah berpasrah kepada yang Di Atas.

Niscaya Tuhan beserta seluruh perangkatnya Di Atas sana sedang terbahak-bahak melihat Indonesia.

Apalagi praktis kalau kita lihat semenjak terjadinya musibah tsunami di Aceh pada tahun 2006 lalu, umumnya bencana-bencana yang terkait alam di Indonesia terjadi pada masa-masa akhir tahun. Artinya, Indonesia itu sudah sering diingatkan oleh yang Di Atas, tapi saban waktu baik itu pemerintahnya, masyarakatnya, dan semua elemen manusia yang hidup di Bumi Indonesia kembali ke factory reset awal tadi.

Masyarakat Indonesia harus sadar, harus segera berbenah, tanpa berpangku tangan menunggu upaya pemerintah. Tidak akan ada itu.

Mulai lah berbenah dari hal-hal yang kecil untuk mengingatkan kepada warga sendiri di lingkungan akan pentingnya menjaga kelestarian alam. Mulai dari menghentikan buang sampah sembarangan terutama di badan-badan air. Apa guna nya MUI baru beberapa waktu lalu mengeluarkan fatwa haram untuk perilaku buang sampah6. Artinya, sudah separah itu kah sampai-sampai MUI mengeluarkan suatu instrumen fatwa? Atau dari pihak patron keagamaan sudah pasrah juga memberi tahu di sela-sela khutbah terkait dengan hal ini? Makanya sampai dikeluarkannya fatwa tadi.

Masyarakat harus mulai juga untuk menegur anggota nya sendiri untuk tidak membakar sampah terbuka. Lakukan pilih dan pilah sampah secara baik. Sudah banyak kok daerah di Indonesia yang bisa menerapkan itu, bersumber dari pergerakan masyarakat nya sendiri.

Atau, kalau tidak bisa juga untuk melakukan perubahan bersama-sama, pindahlah ke lingkungan lain yang lebih kondusif, karena Anda suatu waktu juga akan terkena dampak dari perilaku abai sebagian besar anggota masyarakat tadi.

Masyarakat Indonesia harus paham bahwa mereka diwarisi pengetahuan-pengetahuan luhur dari orang-orang terdahulu tentang bagaimana berperilaku terhadap alam.

Mulailah kembali mendengar apa yang para sesepuh sering sampaikan tentang kelestarian alam. Mulailah bangun kembali rumah-rumah bentuk panggung di daerah-daerah yang memang sudah jelas akan terkena limpahan air yang banyak. Ini bukan soal biaya nya. Nyawa merupakan “biaya” terbesar yang manusia bisa tebus. Otomatis secara alam pikir, masyarakat harus berpikir, ini bukan soal masalah biaya membangun rumahnya, atau biaya perbaikan saluran airnya, tapi soal resiko kedepan.

Sekarang, pertanyaannya memang nya ada wilayah dengan kondisi terdampak paling minim dalam momen tragedi bencana Sumatera bagian Utara ini? Jawabannya, ada!

Misalkan saja di Kepulauan Nias, yang “hanya” terdampak korban jiwa meninggal dunia 2 orang dari sekitar 338 (25/12/08)7. Ataupun misalnya Kepulauan Mentawai yang tidak terdampak sampai ada korban jiwa meninggal dunia8. Anda tau apa kesamaan 2 wilayah tersebut?

Ya, 2 wilayah tersebut adalah wilayah yang masih didominasi oleh populasi orang aseli dan memiliki nilai-nilai keluhuran atas alam yang dijunjung tinggi. Mungkin saya akan tulis artikel terpisah untuk membahas soal 2 wilayah yang mungkin kalau kita Googling akan dianggap sebagai wilayah “aborigin” nya Indonesia, karena tidak tersentuh pembangunan yang masif seperti di daerah-daerah lain Pulau Sumatera bagian Utara.

Artinya, ada contoh konkret (yang masih merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia), yang menunjukkan kepada kita semua bahwa berperilaku yang sesuai dengan kehendak alam, itu bisa dilakukan, dan membawa dampak yang positif bagi manusia itu sendiri. Soal bahwa orang-orang di Kepulauan Nias maupun Mentawai dianggap tidak maju, itu hanya penafsiran dari kacamata orang luar.

Kalau tidak salah dulu korban jiwa tsunami Aceh 2006 di Kepulauan Nias dan Mentawai juga tidak banyak, karena mereka bisa membaca tanda-tanda alam, dan lebih cekatan untuk mengungsi ke dataran yang lebih tinggi, sehingga aman dari terjangan gelombang pasang.

By the way, untuk urusan bencana alam Sumatera bagian Utara ini, cukup personal menurut saya. Namun alhamdulillah dari handai taulan yang saya kenal, tidak ada yang terdampak berat dari bencana yang ada. Seperti nenek dan saudara-saudara jauh yang masih tinggal di Kota Medan, Brastagi, Karo, Dairi, Tigalingga, Bukittinggi, Kota Padang, alhamdulillah masih dalam kondisi aman. Istri saya pun juga ada pencampuran darah Jawa-Nias nya, walaupun Ibu Mertua sudah lama tinggal di Tangerang, namun saya pribadi ingin sekali satu saat mampir ke Gungungsitoli bersilaturahim.

Menurut saya, secara teknis setiap rumah tangga di Indonesia perlu memiliki apa yang disebut dengan Tas Darurat, atau Bug-Out Bag9. Tas ini sederhana nya adalah P3K untuk menghadapi bencana. Tas Darurat biasanya berisikan beberapa potong pakaian, obat-obatan penting, uang tunai, dokumen-dokumen penting, makanan kaleng yang awet lama, hingga benda-benda yang berhubungan dengan survival. Dengan adanya Tas Darurat ini, misalnya saja ketika ada anjuran untuk mengungsi, setiap rumah tangga sudah tidak perlu lagi bingung dan tergopoh-gopoh untuk membawa barang-barang yang penting.

Kalau partai-partai politik peduli terhadap masyarakat, seharusnya mereka menggunakan instrumen Tas Darurat sebagai bahan kampanye politik mereka. Paling tidak, walaupun itu adalah bentuk gratifikasi politik, isi barang-barang Tas Darurat itu akan sangat berguna apabila kondisi darurat betul-betul terjadi.

Tapi, ah, sudahlah, paling masyarakat nya juga nanti lupa dan akan menemui siklus yang sama sampai bumi ini betulan hancur lebur!

Semoga para keluarga yang ditinggalkan selalu diberikan kekuatan dan ketabahan oleh Tuhan YME. Amin.

  1. https://www.theindonesianinstitute.com/pilkada-2024-dari-politik-uang-ke-rendahnya-partisipasi-pemilih/ ↩︎
  2. https://id.wikipedia.org/wiki/Gempa_bumi_dan_tsunami_Sulawesi_2018 ↩︎
  3. https://chanelmuslim.com/nasihat/ketika-presiden-korea-selatan-mengamalkan-al-quran ↩︎
  4. https://news.detik.com/berita/d-8237465/bmkg-sudah-ingatkan-cuaca-ekstrem-8-hari-sebelum-bencana-di-sumatera ↩︎
  5. https://share.google/XDZPbztQx3lpl0v31 ↩︎
  6. https://www.tempo.co/politik/fatwa-haram-buang-sampah-ke-laut-2096077 ↩︎
  7. https://www.inilah.com/korban-tewas-bencana-alam-di-wilayah-bobby-nasution-naik-jadi-338-orang ↩︎
  8. https://www.fokussumatera.com/2025/12/update-jumlah-korban-bencana-sumbar.html?m=1 ↩︎
  9. https://edcindonesia.com/2013/03/04/bug-out-bag-2/ ↩︎

Leave a comment