Sekarang gini deh.
Dari semua masakan yang kita makan, itu pasti ada kandungan olahan sawit nya, kan? Apakah lantas dengan kita mempromosikan anti-sawit, lalu kita makan makanan yang tidak digoreng? Atau Anda sudah punya kocek yang cukup tebal untuk memasak dengan minyak kelapa (VCO) setiap hari? Atau dengan minyak goreng canola, biji bunga matahari, atau migor kacang tanah? Kalau ada koceknya, ya syukurlah.
Tapi, usahakan harus bisa adil sejak dalam pikiran. Jangan ‘brengsek sejak dalam pikiran’. Karena Anda akan sama saja dengan orang-orang yang sedang Anda kritisi, hina, dan cemooh karena telah dianggap tidak sesuai dengan kondisi pemikiran Anda. Sebaiknya, harus bisa memposisikan diri se-adil mungkin, sejak dalam pikiran Anda sendiri.
Orang-orang yang saat ini (2025) duduk di kursi-kursi kekuasaan, dulunya ketika mereka usia di bawah 20 tahun, atau di awal-awal 20an tahun, juga merupakan orang-orang yang idealis, suka memprotes berbagai macam kebijakan yang tidak sesuai, yang tidak menyejahterakan rakyat, dll dsb. Tapi, pada akhirnya ketika mereka berkuasa, tetap saja mereka pada posisi di mana sering mengambil kebijakan tanpa memperdulikan sains, bicara sembarangan, dan cenderung lebih percaya bawahannya masing-masing ketimbang langsung melakukan pengecekan ke lapangan.
Benarlah yang dikatakan oleh Bahlil Lahadalia1 bahwa bisa jadi Anda semua yang mencemooh dia, mengkritik dia, belum tentu bisa lebih baik dari dia saat ini. Bisa jadi Anda lebih brengsek, jahat, ngaco, dan lebih parah dari dia. Jadi, berhati-hati lah menyaring informasi yang Anda dapatkan, serta berhati-hati juga untuk menyatakan sesuatu, karena Anda sama saja dengan mereka yang sedang dikritik itu.
Sewaktu tulisan ini masih dibuat, tiba-tiba ada pernyataan yang ramai dikutip dari video YT Hasan Nasbi2, eks Kepala PCO (Presidential Communication Office). Saya bukan penyuka Hasan Nasbi, karena ulahnya dulu yang juga suka asal bunyi, namun apa yang dia sampaikan di video YT nya saya ada setujunya. Walaupun memang agak sulit bagi masyarakat untuk mencerna isi dari video tersebut, karena Hasan Nasbi juga terlalu mensimplifikasi isu. Tapi ya, sebagai pembuat konten, memang itu cara nya supaya konten kita meledak dan meningkatkan traffic, kan?
Hasan Nasbi menyampaikan bencana terjadi dikarenakan kita suka makan gorengan, minum kopi, dan menggunakan handphone. Ada benarnya, kan? Gorengan digoreng tentu dengan minyak sawit, bukan minyak kelapa. Kita minum kopi dari biji kopi yang diambil dari kebun kopi yang monokultur. Kita semua memiliki HP, mengkritik pemerintah, akses media sosial, tentu ada harga yang harus dibayar dari semua komponen canggih yang ada di dalam HP tersebut. Apalagi terkait dengan barang-barang elektronik baik HP, laptop, iPad, kamera, dan lain sebagainya, banyak komponen yang berasal dari Logam Tanah Jarang (LTJ) yang bahan baku nya diambil dari eksploitasi bumi, umumnya di Afrika. Bisa cek konten-konten YT soal bagaimana rusaknya alam di Afrika karena di belahan bumi yang lain kita memakai peralatan elektronik yang sudah serba canggih.
Kalau Hasan Nasbi dengan gaya nya yang tanpa skrip, kalau saya mungkin akan menambahkan terkait dengan AI. Kita pakai AI itu juga menyebabkan banjir dan bencana ekologis. Iya dong. Paling tidak dimulai dari tambang-tambang silika yang digunakan untuk membuat chipset. Yang kemudian sekian banyak chipset itu disusun sehingga terbentuklah pusat-pusat data atau server, yang paling tidak membutuhkan 26 jenis mineral sebagai bahan baku pembuatan server tersebut3. Cek sendiri di footnote yang sudah saya sediakan.
Ini belum bahas terkait dengan betapa kemajuan industri terutama AI juga mengancam keseimbangan alam. Pusat-pusat data atau server yang digunakan untuk memproses AI juga menggunakan sekian banyak kubik air dan energi listrik. Air nya pun harus air bersih, tidak bisa air kotor atau air laut yang memiliki salinitas tinggi. Energi listrik digunakan tidak hanya untuk menyalakan server-server tersebut supaya bisa bekerja, tapi juga untuk mendingingkan dan menjaga suhu blok-blok server itu tetap stabil dan pada kinerja optimal.
Artinya, kembali di awal, kita harus bisa adil sejak dalam pikiran. Apakah kita bisa lepas dari teknologi? Gadget seperti apa yang ramah dengan lingkungan? Bagaimana melakukan perimbangan antara harga jual akhir gadget dengan kebutuhan eksplorasi mineral yang sekian banyak tadi? Siapa saja ahli nya di dunia soal ini? Apakah ada ahli nya di Indonesia soal ini? Pikirkan bersama.
Kembali ke soal sawit. Sebagai seorang konsultan salah satu perusahaan sawit yang ada di Indonesia, saya rasa memang tidak mudah memahami sawit. Apalagi kalau tiba-tiba dihadapkan pada fenomena antara sawit dengan alam, tidak semudah itu. Kelapa sawit adalah salah satu tanaman yang diambil produknya (CPO), yang merupakan salah satu produk komoditas memiliki nilai tinggi dibandingkan dengan kategori tanaman lainnya. Saya dengan perusahaan konsultan saya sendiri, Gentala Institute, paling tidak sudah menjadi retainer perusahaan sawit ini sejak tahun 2020 lalu.
Tentu, sebagaimana di bidang industri lainnya, perkebunan sawit beserta turunannya memang tidak lepas dari masalah. Jangankan sawit, coba Anda geser ke industri perkebunan karet, apakah itu ada bedanya dengan sawit? Pasti ada saja masalahnya. Misalnya lagi perkebunan pohon sengon, tebu, teh, kopi, kakao, dan lain sebagainya yang mau tak mau harus ditanam monokultur, karena untuk mengejar skala ekonomi, efektivitas output produksi, dan efisiensi biaya-biaya yang timbul. Semua tentu ada masalahnya masing-masing.
Saya pro-sawit, sawit yang berkelanjutan, dan berasaskan pada keseimbangan lingkungan. Memang bisa? Bisa dong. Coba kita bahas.
Tapi sebelum itu, terkait dengan bencana alam yang ada di wilayah Sumatera bagian Utara (Sumbagut; karena dulu memang nama ke 3 provinsi itu memang begitu penyebutannya, bahkan termasuk Provinsi Riau dan Kepri), merupakan suatu bencana ekologis yang tidak sesiapa di dunia ini menginginkan terjadi dan tertimpa kemalangannya.
Namun, yang saya sebut sebagai perilaku yang ‘brengsek sejak dalam pikiran’, adalah karena ada upaya-upaya sistematis yang menargetkan sawit dan perkebunan sawit sebagai ‘the villain’ untuk apapun yang terjadi di Indonesia. Paling tidak per tahun anggaran yang digelontorkan ke Indonesia dari berbagai macam lembaga umumnya Eropa dan AS adalah sebesar 75 juta USD4. Kalau dikalikan ke nilai kurs Rupiah Rp 16.500, berarti ada sekitar 1,2 triliun. Tentu jumlah ini bukanlah sesuatu yang sedikit, mengingat betapa nikmatnya para mitra kampanye anti-sawit di Indonesia, yang sehari-hari nya makan gorengan. Apa iya para mitra program anti-sawit itu sehari-hari memetik selada air, lalu dimakan mentah-mentah dengan telor rebus, setiap hari begitu? Tolol.
Pemerintah Indonesia harus bisa meng-counter upaya yang terang-benderang merupakan usaha persaingan dagang. Hal ini tidak lain karena negara-negara Eropa dan AS juga merupakan para produsen minyak-minyak nabati non-sawit seperti minyak zaitun, canola, biji bunga matahari, gandum, kacang tanah, kedelai, dan lain sebagainya. Tapi, apakah lantas Indonesia tidak bisa makmur seperti mereka, dengan melakukan optimalisasi dan perbaikan-perbaikan sektor industri sawit yang dimiliki?
Pemerintah Indonesia melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) paling tidak di tahun 2025 ini memiliki anggaran sebesar 4 triliun Rupiah5 yang dialokasikan ke dalam berbagai macam kegiatan optimalisasi industri kelapa sawit Tanah Air. Silahkan Anda kuliti sendiri 5W1H dari BPDPKS itu, jangan malas.
Ya kalau sawit dikaitkan dengan pernyataan bahwa pohon kelapa sawit dan pepohonan lainnya sama-sama pohon, itu karena kebiasaan para elit politik di Indonesia yang suka asal bicara, tak terkecuali Presiden sendiri6. Kebiasaan komunikasi politik para elit di Indonesia, saya yakin lebih banyak mudharat nya ketimbang manfaat. Misalnya saja dulu ada Menteri Kominfo yang iseng bilang ‘Internet cepat buat apa?’. Sama saja kan.
Tapi, kalau kita bisa sedikit saja adil dalam pikiran, kembali lagi, apakah mungkin kita bisa lepas dari konsumsi makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan, vitamin, bahan bakar, dan lain sebagainya tanpa ada kandungan minyak nabati sawit sama sekali? Bahkan nanti kalau ada manusia tinggal di Mars sekalipun, saya yakin material yang akan banyak dimanfaatkan di planet merah sana banyak yang bersumber dari sawit.
Memang, kalau dilihat dari negara-negara lain, mereka memiliki diversifikasi konsumsi minyak nabati. Namun, dengan catatan itu pun karena wilayah/daerah mereka yang umumnya sub-tropis, tidak bisa ditanami sawit. Kalau saja bisa ditanami sawit, mereka pasti akan tanam itu.
Katakanlah minyak canola yang berasal dari biji tanaman canola Brassica Napus. Canola oil biasa juga disebut dengan Rapeseed oil. Kalau dilihat memang tanaman canola itu tidak “se-menyeramkan” pohon sawit yang besar dan tebal. Namun, kalau kita Googling sebentar saja, apakah ratusan hektar tanaman canola itu tidak juga dinamakan monokultur? Apakah ada sisipan tanaman yang bisa ditaruh di antara batang tanaman canola seperti sawit? Tidak. Ladang canola ini banyak ditemukan di Kanada dan Australia.
Sebagai informasi, yang mungkin Anda belum tau, sudah sejak lama Kementerian Pertanian Republik Indonesia memperkenalkan program sapi-sawit7. Artinya program ini bertujuan untuk mengoptimalisasi dan mengutilisasi luasan tanah yang ada di antara pohon sawit. Jarak dari penanaman 1 pohon sawit dengan yang lainnya ada sekitar 5 meter. Artinya dalam 1 Ha bidang lahan sawit, ada ratusan m2 bidang lahan yang notabene nya kosong. Ketika ada penangkaran sapi di kebun sawit, sapi-sapi yang ada bisa memakan gulma di lahan sawit, serta kotoran yang dihasilkan oleh sapi-sapi tersebut menjadi tambahan pupuk organik. Tentu program sapi ini misalnya, tidak bisa diterapkan di kebun canola, kacang kedelai, kacang tanah, bunga matahari, dan lain-lain yang juga menjadi bahan dasar minyak nabati.
Yang lebih konyol lagi tentu minyak zaitun. Memang sih, pohon zaitun bisa dibilang merupakan tanaman yang sudah menemani manusia sejak mungkin awal-awal dikenal peradaban. Bahkan zaitun memiliki keistimewaannya sendiri karena disebut dalam kitab suci Al-Quran. Sawit tidak disebut, ya. Namun, sekali lagi, coba lihat foto kebun pohon zaitun, apakah itu tidak juga dinamakan penanaman homogen? Ya homogen, lah! Apalagi manusia sudah menggunakan minyak zaitun sebagai bagian dari kebutuhan hariannya sejak 6000 tahun yang lalu8. Walaupun total luasan kebun pohon zaitun tidak seluas total luasan kebun sawit yang ada di dunia, namun tetap saja ada sekitar 11 juta hektar lebih luasan kebun zaitun yang ada9.
List itu bisa ditambahkan kalau kita cek sendiri total luasan ladang kacang kedelai yang juga sebagian peruntukannya digunakan sebagai minyak nabati. Lalu luasan kebun kacang tanah yang bisa digunakan sebagai bahan minyak nabati, ada juga bunga matahari dan lain sebagainya. Apakah kesemua itu tidak monokultur?
Kalau nanti ternyata konsumsi minyak kelapa semakin meningkat, harga ritel nya semakin bisa ditekan, otomatis akan ada alihfungsi lahan yang tadinya hutan atau perkebunan lain, menjadi kebun kelapa, lantas apa beda nya dengan sawit? Pikirkan lagi baik-baik.
Kalau kita melihat perkebunan sawit sebagai industri, harus juga melihat sisi kebermanfaatan riilnya. Dalam situasi pengelolaan negara, daerah, ataupun lingkungan, kebermanfaatan paling riil untuk orang banyak adalah dengan adanya lapangan pekerjaan. Dengan begitu ada pemasukan yang diterima oleh para pekerja/staf/karyawan yang terlibat. Dengan begitu ada yang disebut dengan daya beli. Dengan begitu, barulah bisa dihitung tingkat produktivitas daerah maupun nasional, yang bisa menjadi acuan untuk berbagai macam hal.
Paling tidak, saat ini ada sekitar 16,5 juta orang yang bekerja sebagai pekerja kebun, staf, karyawan, supir, dan lain sebagainya di industri kelapa sawit di Indonesia10. Jumlah belasan juta itu belum juga termasuk dari sektor-sektor informal yang terserap dan mendapatkan efek benefit (multiplier effect) dari keseluruhan ekosistem industri perkebunan sawit yang ada. Seperti warung-warung kecil di tengah kebun, warteg ataupun warung-warung makan lokal, toko-toko sembako, laundry baju, kafe, tempat hiburan lokal, tempat wisata lokal, kesemuanya itu mendapatkan keberkahan juga, namun memang jarang bisa terdata secara tepat.
Kalau pada waktu kampanye nya dulu Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sempat berkelakar akan menciptakan 19 juta lapangan pekerjaan, berarti dia harus menciptakan satu industri lain yang se-masif perkebunan sawit sehingga bisa menyerap banyak tenaga kerja secara padat karya. Untung nya dia hanya berkelakar, tidak serius.
Belum lagi, asas kebermanfaatan dari CPO atau minyak sawit itu juga bisa digunakan untuk industri oleochemical. Industri oleokimia11 ini lah yang juga menjadi penentu apa saja turunan dari CPO ketika sudah diekstrak, diolah sedemikian rupa, sehingga memiliki turunan yang beragam. Mulai dari sabun mandi, sabun cuci, shampoo, pasta gigi, berbagai macam produk makanan dan pembuat kue, sampai pada bahan-bahan industri lain12. Memang, saat ini industri oleokimia di Indonesia masih sangat terbatas. Tidak lain dan bukan adalah karena industri yang merupakan hilirisasi dari minyak sawit ini membutuhkan teknologi yang lebih canggih, serta modal investasi yang tidak sedikit. Jangankan untuk dihubungkan ke industri oleokimia, jumlah pemurni (refinery) untuk CPO sehingga bisa menjadi minyak goreng yang siap pakai juga tidak sebanyak itu di Indonesia13.
Kembali lagi, arah dari tulisan ini adalah ingin mengupas sedikit kepada para pembaca yang mungkin masih memiliki cara berpikir yang keruh melihat fenomena bencana ekologi dengan industri kelapa sawit, yang notabene nya 99,9% masyarakat Indonesia tidak bisa terlepas dari produk CPO dan turunannya.
Untuk fenomena penyebab banjir bandang yang didominasi oleh gelondongan kayu-kayu besar, saya rasa sudah banyak akun berita atau media sosial investigasi lain yang membahas. Ada yang bilang karena ulah perusahaan tambang emas dengan konsesi lebih dari 100 ribu hektar. Ada juga diduga karena proyek PLTU, ataupun perkebunan pemanfaatan kayu, dan lain sebagainya. Justru, dengan begitu, jangan lah langsung loncat ke bahwa luasan lahan hutan yang dibuka itu adalah untuk keperluan sawit, sangat prematur cara berpikirnya.
Usulannya adalah, spesifik untuk sawit, dan tentu para ahli sawit juga sudah membahas ini dari lama, yaitu melakukan upaya-upaya optimalisasi dan improvisasi keseluruhan ekosistem industri sawit di Indonesia. Apabila perkebunan sawit itu dikelola oleh perusahaan, apalagi konglomerasi besar, tentu mereka juga memiliki kalkulasi dan SOP nya sendiri yang lebih matang. Namun, dari sekian belas juta hektar perkebunan sawit di Indonesia, ada juga yang dimiliki oleh “masyarakat”.
Yang dinamakan masyarakat dalam posisi industri kebun sawit serta kepemilikannya atas kebun atau beberapa pohon sawit, merupakan definisi yang ambigu. Masyarakat yang mana? Siapa? Apakah orang nya di lokasi atau di Jakarta? Bagaimana pengelolaannya? Apakah di KSO-kan dengan perusahaan terdekat? Apakah bayar pajak seperti perusahaan? Bagaimana produktivitas nya? Penanamannya apakah ada legalitas seperti ketatnya kalau perusahaan yang menanam?
Optimalisasi dan improvisasi tentu butuh banyak inovasi. Dari sekian banyak pabrik kelapa sawit di Indonesia, pemerintah juga bisa secara sistematis melakukan observasi apa saja yang menghambat optimalisasi dan improvisasi tadi. Tentu, tidak hanya soal permasalahan optimalisasi dan improvisasi unit pabrik pengolahan kelapa sawit menjadi CPO, tapi keseluruhan rantai pasok dari industri sawit ini juga perlu didudukkan bersama-sama antara pemerintah dan swasta. Jangan hanya menjadi ajang formalitas, bahkan malu-malu mengakui bahwa sawit merupakan salah satu penggerak ekonomi nasional yang sudah terbukti resisten krisis sejak lama.
Intinya adalah, jangan ekstensifikasi dulu, lakukanlah intensifikasi. Siapa tau kalau sudah optimalisasi dan improvisasi, ternyata tidak seluas itu lahan yang diperlukan untuk mencapai kebutuhan atau ketahanan pasokan CPO nasional untuk kemaslahatan masyarakat Indonesia sendiri. Tidaklah perlu untuk membuat semacam Satgas atau Pokja-pokja khusus tak jelas yang ujung-ujung nya hanya menghabiskan anggaran untuk rapat. Berbagai macam Asosiasi, Gapoktan, Paguyuban yang terkait dengan industri sawit sudah sering kali menyampaikan masukan-masukan mereka ke para pengambil kebijakan. Tinggal bagaimana Eksekutif dan Legislatif tidak ambigu dalam melihat posisi industri sawit negara sendiri.
Kalau Indonesia tidak memiliki ahli atau sarana peningkatan teknologi untuk intensifikasi tadi, pemerintah bisa bekerja sama dengan pihak luar, jangan gengsi untuk meminta bantuan atau bekerja sama ranah teknis. Dengan begitu, keseimbangan alam pun juga bisa diperhatikan, tidak perlu ada perluasan lahan untuk sawit. Setelah sawit selesai, bisa mengarahkan sumber daya dan fokus untuk industri lainnya.
Masyarakat juga harus stop lihat konten-konten negatif soal sawit. Yang sebetulnya mereka itu adalah para pembuat konten yang hanya peduli dengan jumlah views konten mereka saja. Mereka seringnya tidak peduli dengan implikasi konten yang banyak kalangan tidak berpendidikan langsung memakan mentah-mentah. Kepedulian itu boleh dan harus, tapi kalau tidak dibarengi dengan POAC yang nyata, apa guna nya? Dan sekali lagi, Indonesia merupakan negara yang masih sangat bergantung dari industri Sumber Daya Alam, termasuk sawit.
Gen Z Indonesia juga harus lebih realistis dan berpikir kedepan, bukan hanya soal keresahan dan kegelisahan yang ada pada masa-masa sekarang. Harus mulai berpikir dan bertindak bagaimana menemukan perimbangan yang tepat antara manusia dan alam. Antara kebutuhan individu dengan kepentingan nasional. Antara hasrat pribadi dan kepentingan kolektif. Ingat ya, mereka-mereka yang saat ini ada di pucuk kepemimpinan dulu sewaktu muda juga punya idealisme-idealisme seperti kalian!
- https://www.kompas.tv/nasional/471626/bahlil-ke-mahasiswa-jangan-bilang-oligarki-jika-kalian-jadi-pejabat-mungkin-lebih-jahat-dari-saya ↩︎
- https://www.youtube.com/watch?v=WJmESo7lUms ↩︎
- https://www.sfa-oxford.com/knowledge-and-insights/critical-minerals-in-low-carbon-and-future-technologies/critical-minerals-in-electronics/critical-minerals-in-servers-and-data-storage/ ↩︎
- https://investor.id/business/kampanye-negatif-ganggu-investasi-di-industri-sawit ↩︎
- https://haisawit.co.id/news/detail/efisiensi-anggaran-bpdp-pagu-2025-turun-dari-rp606-triliun-ke-rp4-triliun ↩︎
- https://www.bbc.com/indonesia/articles/c878ng8gdgpo ↩︎
- https://bpmsph.ditjenpkh.pertanian.go.id/berita/program-integrasi-sapi–sawit-strategi-jitu-kementan-menuju-mandiri-protein ↩︎
- https://en.wikipedia.org/wiki/Olive_oil ↩︎
- https://www.bkwine.com/news/olive-tree-around-the-world ↩︎
- https://kemnaker.go.id/news/detail/menaker-jumlah-pekerja-di-industri-sawit-terus-meningkat ↩︎
- https://www.smart-tbk.com/en/lemak-yang-tepat-memilih-asam-lemak-oleokimia-untuk-kebutuhan-industri/ ↩︎
- https://www.bpdp.or.id/kenali-produk-turunan-sawit-yang-sering-digunakan-sehari-hari ↩︎
- https://www.bpdp.or.id/peran-strategis-industri-minyak-goreng-sawit-nasional ↩︎
[…] Screenshot dari sini. […]
LikeLike