Apa Pentingnya Investasi Cina di Indonesia?

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Sebelum gue kasih aba-aba untuk memulai keributan di kolom komentar, ada lead yang mau coba gw sampaikan, bisa jadi salah, tapi ini analisis gue.

Lead pertama, kalau saja Cina dipandang mendominasi ‘serangan’ investasi yang berujung pada penguasaan kedaulatan—gitu kan narasi-narasi yang dibangun?—lalu kenapa pada tahun 2021 lalu angka investasi masuk paling besar dari Singapura? Bukan Cina. Karena kalau narasinya demikian, hanya melihat angka saja, tanpa peduli sebetulnya rinciannya bagaimana, seharusnya kata serangan tadi dialamatkannya ke Singapura dong, bukan ke Cina. Continue reading “Apa Pentingnya Investasi Cina di Indonesia?”

Penguasaan Teknologi di Cina

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Gue bisa paham salah satu faktor yang membuat kita semua ga suka ngeliat banyaknya pengaruh Cina ke Indonesia. Salah satunya karena persepsi soal barang-barang murah dan kualitas rendah yang masuk ke Indonesia, atau yang biasa kita beli. Tapi temen-temen perlu ingat, ada harga ada barang. Mau barang bagus tapi murah, itu kan kita banget ya. Ya logikanya jangan diprotes dong kalo usia barang tersebut ga lama. Misalnya hp. Tau sendiri kan kalo beli iPhone/Samsung dan merek-merek asal Cina itu bedanya berapa? Dengan spek yang sama dan waktu rilis yang sama misalnya. Atau kalo misalnya kita beli hp Sony, karena dari Jepang kan, wih, kualitas bagus. Tapi, kalo dibandingin dengan harga, ya dompet ga bohong sih ya. Continue reading “Penguasaan Teknologi di Cina”

Pendidikan di Cina

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Betul sekali, di negara sekuler sempurna seperti Cina, pendidikan agama tidak diajarkan. Begitu pula dengan Bahasa Inggris yang sangat sedikit sekali pembebanan di kurikulum sekolahnya. Jadi, buat yang sudah memiliki asumsi bahwa orang-orang di Cina itu nir akhlaq dan Bahasa Inggris nya jelek banget, anda engga salah, karena dari sistem pendidikan di Cina memang seperti itu.

Namun, bukan berarti baik itu ilmu agama atau Bahasa Inggris tidak bisa diakses oleh pelajar di Cina. Bisa dibilang, karena agama adalah ranah privat, di banyak negara, maka hal-hal yang berbau pendidikan agama umumnya diajarkan oleh orang tua masing-masing, di rumah, atau di komunitas tempat peribadatan. Bagi yang muslim, untuk kami yang berkesempatan stay lama di Cina, kami tau bahwa program-program seperti yang dikenal dengan mengaji, membaca Al Quran dan sebagainya, itu ada di masjid-masjid di sana. Untuk agama lain, gue kurang bisa menjelaskan, mohon maap! Continue reading “Pendidikan di Cina”

Elegi Kereta Cepat

Tulisan ini merupakan script yang saya gunakan untuk mengisi konten di segmen Cha Guan, AsumsiCo https://www.youtube.com/@Asumsiasumsi/playlists, selamat menikmati.

Kereta cepat, tapi bikinnya kok lamaaaaa banget ya? Hahaha.

Tapi, sebelum masuk ke pembahasan. Sekarang gini deh, gue tanya, jawabnya di kolom komentar aja, biar rame, biar ribut kan. Siapa dari temen-temen yang pernah ke Jepang dan coba naik shinkansen? Kalau sudah banyak yang pernah, pertanyaan selanjutnya, pernah ga temen-temen ke Cina, cobain gaotie nya Cina di Cina? Terus, buat yang belum pernah ke Jepang, belum pernah ke Cina cobain kereta cepat di 2 negara tersebut, buat apa ribut-ribut komentarin soal kualitas kereta nya itu nanti gimana? Ukuran objektif nya dari mana? Continue reading “Elegi Kereta Cepat”

Kenapa Saya Masih Menyebut Cina?

Alasannya sederhana.

Pertama, keputusan untuk perubahan dari kata ‘Cina’ atau ‘China’ menjadi Tiongkok di Bahasa Indonesia, itu adalah alasan politis. Alasan politis yang baik tentunya. Pada waktu itu keputusan diteken oleh Presiden SBY pada Kepres nomor 12 tahun 2014. Selain soal politis, supaya ada terlihat peleburan dan persatuan antara Tionghoa dan non-Tionghoa, serta Pemerintah dan masyarakat Tionghoa, juga hal itu dilakukan sebagai latar belakang psikososial yang sering menjadikan istilah ‘Cina’ sebagai sebutan yang tidak mengenakkan di tataran masyarakat akar rumput (https://nasional.kompas.com/read/2014/03/19/1458446/Presiden.SBY.Ganti.Istilah.China.Menjadi.Tionghoa.) Continue reading “Kenapa Saya Masih Menyebut Cina?”

Bicara Cina, Bicara Budaya

Membicarakan mengenai Cina, memang tidak akan ada habisnya. Menilik balik sedari berakhirnya Dinasti Qing (1912), berdirinya Republik Cina (1912 – 1949), konflik dan perang-perang sipil (1927 – 1950), imperialis Jepang yang menjajahnya (1937 – 1945), sampai pada berdiri nya Republik Rakyat Cina–bersamaan pindahnya “Ibu Kota Republik Cina” ke Pulau Formosa (1949). Itu pun juga masih bisa dilanjutkan dengan keseruan membahas mengenai Revolusi Kebudayaan (1966), pemberlakuan Kebijakan Pembatasan 1-anak (1979), dan lain-lain. Hal-hal tersebut berlanjut hingga pada saat ini kita semua harus menerima kenyataan bahwa Cina merupakan negara tertinggi untuk GDP at PPP ranking (PwC, 2015) sejak tahun 2014. So, what did we miss? Continue reading “Bicara Cina, Bicara Budaya”

Cina tidak Butuh Omnibus Law Indonesia

Sebagai alumni Cina yang berkesempatan untuk mengenyam pendidikan D2 Bahasa Mandarin dan S2 Bisnis Internasional di Beijing, serta pengalaman kerja 1 tahun di Kota Tianjin, membuat saya agak terheran dengan kesimpulan awal bahwa kebijakan yang ditelurkan kedalam UU Omnibus ini dibuat untuk menggelar karpet merah yang lebih kinclong lagi bagi para investor asing. Otomatis masyarakat pasti menuding Cina dibalik ini semua. Padahal belum tentu. Jangan GR, Cina ga bego-bego amat. Banyak faktor yang tentu harus dipertimbangkan oleh suatu negara atau korporasi untuk meletakkan investasinya di tempat lain, khususnya di negara yang sejatinya tidak ramah terhadap etnisitas Cina.

Continue reading “Cina tidak Butuh Omnibus Law Indonesia”