Jangan Salahkan Sawit, Dong!

Sekarang gini deh.

Dari semua masakan yang kita makan, itu pasti ada kandungan olahan sawit nya, kan? Apakah lantas dengan kita mempromosikan anti-sawit, lalu kita makan makanan yang tidak digoreng? Atau Anda sudah punya kocek yang cukup tebal untuk memasak dengan minyak kelapa (VCO) setiap hari? Atau dengan minyak goreng canola, biji bunga matahari, atau migor kacang tanah? Kalau ada koceknya, ya syukurlah.

Tapi, usahakan harus bisa adil sejak dalam pikiran. Jangan ‘brengsek sejak dalam pikiran’. Karena Anda akan sama saja dengan orang-orang yang sedang Anda kritisi, hina, dan cemooh karena telah dianggap tidak sesuai dengan kondisi pemikiran Anda. Sebaiknya, harus bisa memposisikan diri se-adil mungkin, sejak dalam pikiran Anda sendiri.

Orang-orang yang saat ini (2025) duduk di kursi-kursi kekuasaan, dulunya ketika mereka usia di bawah 20 tahun, atau di awal-awal 20an tahun, juga merupakan orang-orang yang idealis, suka memprotes berbagai macam kebijakan yang tidak sesuai, yang tidak menyejahterakan rakyat, dll dsb. Tapi, pada akhirnya ketika mereka berkuasa, tetap saja mereka pada posisi di mana sering mengambil kebijakan tanpa memperdulikan sains, bicara sembarangan, dan cenderung lebih percaya bawahannya masing-masing ketimbang langsung melakukan pengecekan ke lapangan.

Benarlah yang dikatakan oleh Bahlil Lahadalia1 bahwa bisa jadi Anda semua yang mencemooh dia, mengkritik dia, belum tentu bisa lebih baik dari dia saat ini. Bisa jadi Anda lebih brengsek, jahat, ngaco, dan lebih parah dari dia. Jadi, berhati-hati lah menyaring informasi yang Anda dapatkan, serta berhati-hati juga untuk menyatakan sesuatu, karena Anda sama saja dengan mereka yang sedang dikritik itu.

Continue reading “Jangan Salahkan Sawit, Dong!”

Berdamai dengan Perkembangan Zaman

Kemarin saya sempat berdiskusi dengan kawan yang juga merupakan alumni PPI Dunia. Lalu, setelah saya tutup Whatsapp call-nya, saya jadi tersadar, sepertinya bagus kalau isi obrolan kami ditulis di blog.

Kawan saya itu lucu, tiba-tiba WA dengan ada tautan tangkapan layar, yang kira-kira isinya beliau diminta untuk memberikan materi di hadapan entah itu mahasiswa atau publik umum, tapi yang jelas arah pembahasannya lebih mengarah kepada bagaimana menghadapi kawan-kawan Gen Z yang pasif dan kurang aktif.

Awalnya saya nyinyir ke kawan saya itu, lah, itu kan Mas nya yang diminta isi materi. Ya kalau saya yang diminta isi materi, saya sudah coba browsing-browsing dan cari-cari materi, kan. Tapi, ya nampaknya kawan saya ini tidak punya banyak waktu untuk melakukan scrapping materi yang dibutuhkan, dan lebih memilih layaknya kuis ‘Who Wants to be a Millionaire’ dengan memilih opsi Call a Friend.

Sekonyong, pembahasan saya mengarah ke bagaimana ada 2 kondisi yang dihadapi, dan itu akan sangat bergantung pada cara mengintervensi nya nanti. Ketika kita sudah bisa mengidentifikasi atau mengkategorisasikan situasi, baru lah saya pikir kita bisa berpikir jernih apa yang harus kita lakukan—seperti pada umumnya menghadapi masalah-masalah lain, tidak hanya perkara Gen Z ini.

Kondisi pertama, tentu sesuai dengan request kawan saya itu. Bahwa bagaimana memberikan materi terhadap audiens Gen Z yang dianggap pasif, kurang bersemangat, tidak aktif dalam memberikan respon di berbagai macam setting. Apakah itu di kelas atau dalam konteks organisasi, mengerjakan tugas kelompok, dan lain sebagainya.

Saya kira tidak demikian, jawab saya.

Maksudnya?

Continue reading “Berdamai dengan Perkembangan Zaman”