Sepertinya nanti di tahun 2036 saya pribadi sudah tidak lagi akan menulis secara organik, dan tidak akan lagi membaca tulisan-tulisan blog, atau bisa jadi semua jenis tulisan. Betapa tidak, perkembangan AI (kecerdasan artifisial; gitu kan bahasa baku nya?) semakin hari semakin tidak terbendung lagi.
Bukan hanya permasalahan yang berkaitan dengan dunia akademis, semua sektor urusan manusia yang ada hubungannya dengan penulisan, saya pikir akan mengalami masa-masa terkelam nya paling tidak 5-10 tahun yang akan datang.
Memang, terkesannya ini sangat basi dan klise. Tapi kita semua menyadari dan seakan hanya bisa melihat cepat nya laju perkembangan teknologi khususnya AI tahun ke tahun, bulan ke bulan, minggu ke minggu, hari ke hari, hingga detik ke detik nya. Seperti waktu kita lihat balap motor atau mobil langsung dari lokasi balap nya. Kita hanya bisa sebagai penonton, mengagumi kendaraan-kendaraan yang melaju kencang. Kita hanya penonton, yang kurang paham juga bagaimana teknik mengendarai motor atau mobil yang sekencang itu. Kita tau bahwa kita bisa mengendarai motor atau mobil, tapi kalau secepat itu, hanya mereka yang bergelut di bidang balap yang mahir.
Siapa yang bisa menyana kala itu hampir semua urusan manusia harus dilakukan via daring (dalam jaringan), namun alih-alih kehidupan manusia menjadi “normal” kembali, malah ternyata menjadi sebuah gulungan bola salju yang semakin lama semakin menggulung besar. Sebuah gulungan bola salju tentu tidak ada istilahnya kembali naik, bukan. Itu semua karena ada gaya gravitasi yang menariknya. Nah, dalam persoalan ini, kita juga harus lihat dan paham apa gaya gravitasi yang sangat kuat sehingga menarik semua orang untuk bergantung pada AI.
Iya dong, kalau tidak disebut bergantung, disebutnya apa?
Read more: Dilema AI BerkepanjanganPeradaban manusia modern yang semuanya serba ingin cepat, ingin praktis, tentu bukan tanpa resiko. Sejarah Revolusi Industri yang pernah dialami oleh umat manusia sudah memperlihatkan bahwa tidak selamanya kenyamanan dan kepraktisan yang didapatkan oleh manusia, itu baik. Atau bahasanya, ketika di satu sisi ada yang dimajukan, ada sisi lain yang tentu tersendat, mundur, diam ditempat, dan lain sebagainya.
Saya akan coba buat tulisan ini tanpa menggunakan sitasi. Karena, dalam imajinasi saya pribadi soal AI, saat ini fenomena AI sudah sangat meresahkan. Apalah lagi pada tahun-tahun yang akan datang.
Ketika awal-awal Revolusi Industri yang bisa sama-sama kita cari rujukan baik daring maupun luring (luar jaringan), salah satu sisi yang tersendat, mundur, diam ditempat, ditinggalkan, dan lain sebagainya itu, tidak lain dan bukan adalah lingkungan hidup atau alam.
Saya tidak membicarakan soal keserakahan atau sesuatu yang sifatnya justifikasi negatif. Karena disadari atau tidak, kehidupan manusia modern apalagi sudah akan memasuki tahun 2026 ini, kita semua secara langsung maupun tak langsung memiliki andil bagi kemunduran atau hal-hal negatif lain yang terjadi pada alam.
Tulisan ini memang bukan tulisan untuk bagaimana memperbandingkan situasi alam yang sudah ada saat ini dengan masa-masa pra-kemajuan. Oke, katakan lah masa Revolusi Industri itu sudah terlalu lama, itu kalo ga salah di tahun 1760an (ga ada sitasi). Coba misalnya di tahun 1967 ketika Indonesia pada kala itu Presiden Soeharto memutuskan untuk mengeluarkan UU Penanaman Modal Asing yang kemudian diikuti oleh UU Minerba, dan UU lain yang tujuannya adalah untuk memuluskan kepraktisan hidup manusia modern, baik itu di Indonesia maupun di negara-negara lain.
Pada waktu itu, UU PMA yang ditelurkan oleh kekuasaan Soeharto tidak lain dan bukan karena ada beberapa calon investor yang tertarik untuk mengolah bahan tambang yang disinyalir memiliki kandungan tembaga yang sangat tinggi. Kita ga bahas emas nya dulu nih.
Dari bahan mineral berupa tembaga saja, itu merupakan salah satu bahan baku yang manusia banyak sekali butuhkan. Pada tahun-tahun 1970an, memang kondisi ekosistem elektronika belum terlalu masif. Mungkin pada tahun-tahun itu masih menggunakan pager, itu pun hanya segelintir orang saja yang memilikinya. Namun, bottom line nya adalah, sejarah memperlihatkan bahwa salah satu kemajuan teknologi tercepat di peradaban manusia adalah teknologi komunikasi. Teknologi yang tujuannya “hanya” untuk memindahkan informasi dari orang A ke orang B, bahkan bisa dari orang A ke orang B – ZZ. Bergantung pada konteksnya.
Keinginan manusia untuk bisa terhubung satu sama lain, harus dibayar mahal oleh besarnya cadangan tembaga yang harus dikeruk untuk memenuhi permintaan akan alat-alat komunikasi yang kebanyakan juga menggunakan tembaga sebagai bahan baku nya.
Namun, dilema UU PMA tidak sampai di situ saja. Ternyata apa yang dikeruk di Bumi Papua tidak lain dan bukan adalah bijih emas. Bijih emas yang sifatnya menempel pada bongkahan tanah mengandung tembaga ini lah yang memiliki nilai jauh lebih fantastis dibandingkan dengan tembaga.
Tapi, jangan juga kita buru-buru salah persepsi. Kita semua tau bahwa salah satu material yang dipakai dalam pembuatan smartphone dan produk elektronik lainnya. Emas secara objektif digunakan dalam berbagai macam produk elektronik salah satu nya karena emas tahan korosi, tahan berkarat, tidak mudah teroksidasi. Tidak seperti mineral logam lainnya yang mudah teroksidasi, sehingga dengan demikian transmisi sinyal listrik atau data yang dialirkan akan menjadi sulit karena adanya oksidasi tadi. Emas juga merupakan konduktor yang sangat baik. Emas juga merupakan mineral logam yang mudah dibentuk, karena emas murni sejatinya memiliki tekstur yang jauh lebih lunak dan ringan dibandingkan dengan besi atau baja tahan karat. Bisa dibayangkan betapa beratnya smartphone kita semua kalau komponen yang digunakan adalah baja tahan karat.
Muara dari elaborasi di atas adalah, ketika masa-masa Covid yang semua urusan harus dilakukan secara daring, tentu membuat dalam periode itu (2 tahun di dunia, 3 tahun di Cina) permintaan akan server dan infrastruktur penunjang sistem IT secara gila-gilaan meningkat tajam. Salah satu tujuan dari peningkatan infrastruktur ini adalah kembali soal komunikasi. Penyediaan layanan internet yang dianggap sepele pada waktu itu, harus dikebut secara drastis guna menjamin bahwa komunikasi antara manusia A, B, C dan seterus nya tidak terjadi kendala.
Lalu kemudian tak lama setelah reda pandemi Covid, muncul lah berbagai macam tren AI yang pada waktu itu kita sama-sama belum paham apa kegunaannya.
Ya kalo urusan pengembangan chatbot yang belum menggunakan pengetahuan seperti AI saat ini, chatbot seperti itu paling tidak sudah 10 tahun belakangan dikembangkan di dalam negeri. Bahkan waktu itu salah satu penyedia layanan chatbot dalam negeri yang cukup tersohor adalah YesBoss yang kemudian bertransformasi menjadi Kata.ai.
Anyways.
Sudah banyak konten di YouTube, pemberitaan resmi di berbagai kanal media, dan temuan-temuan lainnya yang mengatakan bahwa perkembangan AI di dunia ini memiliki dampak yang sangat negatif terhadap lingkungan hidup dan sosial manusia.
Biasa ya begitu. Kalau ada pembukaan lahan baru atau pemanfaatan kayu (apalagi illegal logging) tentu tidak hanya alam, tapi manusia juga merasakan dampak buruk nya.
Perkembangan teknologi AI membutuhkan banyak sekali semikonduktor yang dirangkai sedemikian rupa sehingga menjadi Graphic Processing Unit (GPU), kemudian disusun sedemikian rupa sehingga menjadi server bagi kebutuhan kalkulasi biner algoritma, LLM, dan lain sebagainya itu. Dalam memproduksi semikonduktor, sebuah pabrik fabrikasi semikonduktor membutuhkan air dalam jumlah yang sangat banyak. Apalagi air yang digunakan harus lah air tawar (tidak boleh air laut yang diolah, karena ada kandungan Natrium dan mineral lainnya) yang memiliki kualitas prima.
Tidak hanya sampai situ, air juga digunakan sebagai pendingin bagi berbagai macam perangkat keras yang ada di unit atau blok server. Ruangan-ruangan server sedari awal desainnya memang merupakan ruangan-ruangan dengan suhu yang sangat dingin, dengan dibantu AC atau alat pendingin hawa lainnya. Namun, tanpa pendingin cairan yang bersifat induksi, server dengan skala besar tentu tidak bisa didinginkan hanya dengan hawa, harus ada cara yang lebih efektif guna menstabilkan suhu dari perangkat-perangkat keras yang ada.
Sehingga, dalam hal ini, banyak dilema yang ada di masyarakat terutama di negara-negara yang industri IT nya maju seperti AS, Cina, Jepang, dan Jerman akan tantangan pemenuhan air yang digunakan untuk pendingin tadi. Tidak sampai situ, blok-blok masif server yang dibangun juga mengeluarkan emisi bising dari entah perputaran exhaust, pompa penyedot air, atau peralatan lain yang mengeluarkan suara tidak sedikit.
Banyak dari pemukim yang tinggal dekat dengan pusat-pusat server tersebut merasa dirugikan karena adanya emisi suara yang banyak dihasilkan. Kalau di AS dan Eropa, mereka mudah untuk protes ke sumber masalah dan bahkan bisa menuntut ke pengadilan dll. Bahkan kalau keputusan pengadilan memenangkan masyarakat, perusahaan harus membayar ganti rugi yang sama sekali tidak sedikit nilainya. Namun, kalau fenomena dilematis pembangunan server IT tadi terjadi di Indonesia, mungkin masyarakat lokal tidak akan bisa apa-apa.
Maksudnya, kembali ke soal gravitasi yang menyebabkan sebuah bola salju bisa menggelinding terus menuruni bukit, gravitasi pada persoalan AI ini adalah ego dari manusia itu sendiri. Pada tahun-tahun sebelum dikenal AI, saya pikir kehidupan manusia sudah sangat praktis. Berbagai macam penguasaan pengetahuan dan teknologi sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kita sehari-hari maupun untuk keperluan-keperluan spesifik.
Yang disuguhkan oleh teknologi AI menurut hemat saya ada pada kecepatan nya saja. Ada pada singkat nya waktu yang diperlukan untuk melakukan beberapa tugas. Yang kesemua itu sebetulnya pada awal mula nya sudah ada yang mengerjakan, kan?
Katakanlah soal AI agent. Di mana digadang-gadang sebagai pengganti tim staf yang ada di semua perkantoran untuk melakukan task atau tugas tertentu sesuai dengan prompt yang dimasukkan. Sebetulnya “prompt” itu juga biasa disampaikan oleh atasan kepada jajarannya yang manusia. Hanya saja perlu diakui bahwa kecepatan kalkulasi AI teramat jauh lebih cepat dari manusia.
Maksudnya, kalau lah toh perusahaan tetap menggunakan manusia sebagai bagian dari berbagai macam aktivitas kehidupan, semisal di perusahaan, untuk meningkatkan efisiensi kinerja dan output dari para staf yang dimiliki adalah dengan melakukan berbagai macam upgrading.
Memang sulit untuk memiliki empati terhadap sekelompok orang yang terdampak melihat dari kacamata kita yang tidak terdampak. Ya apalagi kalau bukan soal krisis air bersih dan emisi suara tadi.
Belum lagi gravitasi nya adalah soal bagaimana ironi dari keterhubungan antarmanusia yang justru semakin lama semakin tidak connected. Dengan banyaknya kepraktisan yang disuguhkan oleh teknologi AI mau tak mau, suka tidak suka hanya akan membuat manusia jauh satu sama lainnya. Kita sudah merasa bahwa kita bisa melakukannya semua sendiri, secara lebih cepat, secara lebih tepat, tanpa bantuan siapa-siapa secara langsung, tanpa perlu connect dengan siapapun.
Maksudnya, apakah tendensi dari manusia modern adalah bukan untuk terhubung, tapi justru untuk asyik dengan diri sendiri, memenuhi kebutuhan nya tanpa campur tangan langsung manusia lainnya, tidak perlu interaksi.
Kalau iya, ini adalah fenomena menarik yang perlu dipelajari baik dalam kacamata psikologi pribadi, psikologi sosial, sosiologi, dan lain sebagainya. Kalaupun iya bahwa gravitasi soal keinginan manusia untuk semakin terpisah dan meniadakan interaksi langsung, berarti itu adalah gravitasi ke-2 setelah ego yang sudah dibahas di atas.
Namun, karena kedua gravitasi di atas adalah sesuatu yang dibuat-buat oleh manusia, artinya bukan secara alamiah naluri manusia begitu, maka 2 persoalan tersebut bisa di-overrule oleh manusia itu sendiri, kan?
Jadi gini, kalo kita biasa lihat tonton atau baca buku-buku dalam Bahasa Inggris, salah satu frase penekanan yang sering mereka gunakan dalam suatu ucapan adalah ‘What’s the gravity of the situation?’ atau ‘Do you understand the gravity of this matter?’ atau misalnya ‘… it shows the gravity and importance to it‘.
Gravitasi pada konteks frase-frase di atas tentu bukanlah merujuk pada gaya gravitasi pada hukum alam atau fisika. Tapi lebih ke makna kias akan pentingnya sesuatu.
Terutama dalam interaksi manusia, memahami konteks akan jauh lebih penting daripada sekedar memahami teks. Maksudnya apa, latar belakang nya bagaimana, penekanannya seperti apa, dan lain sebagainya. Akan sangat berpengaruh.
Kembali ke kalimat-kalimat awal tulisan ini. Pengaruh AI dan bagaimana fenomena menulis di tahun-tahun yang akan datang, semua mungkin akan berubah sangat drastis. Kualitas dari isi tulisan mungkin semua sudah dengan rona berbasis AI. Ingat, AI itu bukanlah platform statis, dia dinamis, tergantung pada learning input yang dikonsumsi dan yang disuguhkan oleh para pengembangnya. Atau bisa jadi nanti AI akan belajar bersama AI yang lain dengan sekecil mungkin intervensi dari pengembang itu sendiri.
Dalam mengejar kuantitas karya tulisan, tentu menggunakan AI akan sangat mudah dan praktis. Tapi, dari segi kualitas, apakah kualitas penulisan AI itu bisa disandingkan dengan karya-karya penulis besar baik itu fiksi maupun non-fiksi. Merupakan ‘celaka 13’ kalau di tahun yang akan datang nanti banyak misalnya buku-buku novel fiksi yang dibuat via AI. Kita sebagai pembaca pun juga akan semakin sumir untuk membedakannya, karena toh tidak semua dari kita memiliki kemampuan untuk mencirikan AI dan non-AI. Atau bisa jadi nanti ada semacam self-guarantee dari Penulis buku tersebut untuk menyatakan bahwa bukunya sama sekali tidak mengandung AI, ada semacam label nya begitu. Seru juga.
Lembaga-lembaga pendidikan perlu menyuarakan hal ini sedini mungkin. Taruh lah memang ada misalnya peserta ajar yang memutuskan untuk menggunakan AI dalam memenuhi penugasan mereka di tempatnya belajar. Tapi, karena gravity of the situation, niscaya kita tidak bisa mengelak begitu saja tentang fakta perkembangan teknologi yang sudah sedemikian canggih.
Misalnya di dalam lembaga pendidikan, ada treatment khusus, penilaian khusus (yang lebih rendah dari penulisan non-AI), atau mekanisme lain, sehingga output yang berbasis AI bisa tetap dapat diterima, namun output orisinal non-AI mendapatkan apresiasi yang lebih tinggi. Hal ini tentu untuk memotivasi khalayak akan penggunaan konteks ketika meminta AI menyelesaikan pekerjaan kita. Penggunaan AI nya tidak dilarang, tapi kemampuan logika, analitik, dan nalar manusia nya tetap harus ada di dalam bagian konten yang dibuat.
Dalam konteks dunia birokrasi publik, apalagi banyak kerjaan yang sebetulnya bernuansa clerical alias terkait dengan olah-mengolah dokumen (termasuk menulis, menyusun draf pidato, membuat draf paparan, dan lain sebagainya), tentu menggunakan AI akan menjadi satu solusi, ketimbang masalah. Sekian banyak pekerjaan di dunia birokrasi pemerintah, tentu bisa dijembatani oleh kebisaan LLM atau learning input yang sudah disematkan sebelumnya, untuk mengolah sedemikian banyak data, sehingga jajaran staf dapat memberikan luaran/output yang nantinya akan menjadi pertimbangan pimpinan dalam menentukan arah berikutnya.
Saya pikir kita sama-sama paham bagaimana struktur birokrasi bekerja, walaupun tidak tahu persis, tapi intinya adalah bagaimana pimpinan dalam birokrasi publik bisa diberikan opsi yang mendekati sempurna, sehingga kemudian keputusan yang nantinya diambil adalah hasil dari kecepatan kerja struktur tim yang dimiliki.
Kalau di dunia swasta saya pikir penggunaan AI masih berupa pedang bermata dua. Kalau sebuah perusahaan tidak cekatan untuk bisa mengadopsi teknologi-teknologi terkini, maka ia akan kalah oleh persaingan. Namun, kalau terlalu cepat mengadopsi, atau bahasa lainnya FOMO, niscaya banyak overhead cost atau biaya-biaya yang tak terduga dan tak terencana.
Lama-kelamaan menurut saya, AI akan menjadi tidak hanya momok, tapi dianggap sebagai komponen HARAM yang perlu untuk dipisahkan, di-declare, dan dicirikan. Sehingga nanti konsumsi manusia terhadap apapun yang mengandung AI akan memiliki kejelasan memilih, seperti sesuatu yang halal atau haram, kosher dan tidak kosher. Seru.