Menjadi Alumni Rumah Kepemimpinan, Gimana Rasanya?

Tidak, aku bukan alumni Rumah Kepemimpinan, aku adalah alumni PPSDMS (Program Pemberdayan SDM Strategis) yang diprakarsai oleh Yayasan Nurul Fikri sejak tahun 2002. Aku mungkin tidak akan banyak bercerita secara historis apa dan siapa PPSDMS yang kemudian berganti nama menjadi Rumah Kepemimpinan. Aku akan lebih banyak cerita mengenai bagaimana rasanya menjadi alumni dari sebuah program ‘penempaan super’ yang aku jalani dalam kurun waktu 2 tahun. Oh iya, aku alumni PPSDMS angkatan 4 Regional 2 Bandung.

Awalnya bisa dibilang aku tidak terlalu tau banyak mengenai program ini. Ketika masuk kuliah dulu tahun 2007 di Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Padjadjaran, program-program pembinaan seperti itu tidak cukup banyak. Awalnya aku Cuma tau program ini dari sesama alumni Nurul Fikri, ya, aku dari SD – SMA memang bersekolah di Nurul Fikri. Kalaupun waktu itu sudah ada Universitas Nurul Fikri, aku mungkin akan sudah berkuliah di kampus tersebut, hanya untuk melanjutkan ‘gelar akademik’ jebolan Nurul Fikri.

Pada awalnya memang PPSDMS ini didirikan sebagai suatu bentuk ijtihad atau upaya meningkatkan kualitas SDM Indonesia dari apa yang para Pendiri PPSDMS bisa lakukan. PPSDMS atau RK ini memiliki sasaran pembinaan yaitu mahasiswa/i tahun ke 2 perkuliahan di kampus-kampus yang RK memiliki regional. Saat ini Rumah Kepemimpinan, seperti yang juga bisa dilihat di website mereka, sudah memiliki 9 Regional. Urut Regional yaitu Jakarta, Bandung, Jogja, Surabaya, Bogor, Medan, Makassar, Samarinda, dan Solo. Masing-masing Regional diwakili oleh peserta yang berasal dari kampus-kampus yang paling moncer di daerah-daerah tersebut. Tentu saja secara historis, RK ini tidak muncul begitu saja langsung dengan 9 Regional. Merupakan hal yang mustahil untuk bisa membangun suatu program pembinaan 2 tahun, yang dilakukan secara serentak di banyak regional.

Pada awalnya branding dari program PPSDMS ini adalah beasiswa mahasiswa. Siapa yang tidak mau, bukan? Bahkan, untuk aku yang juga merupakan alumni SMAIT Nurul Fikri pun tidak tahu menahu soal adanya program yang diinisiasi oleh Yayasan yang sama. Namun, singkatnya aku dan mahasiswa-mahasiswa lain yang berasal dari Unpad dan ITB mengikuti proses seleksi, lalu kemudian alhamdulillah aku diterima masuk sebagai salah satu peserta dari 35 orang yang nantinya akan tinggal di satu asrama selama 2 tahun.

Awalnya aku berpikir keras, karena pada waktu itu konsekuensinya, aku kuliah di Jatinangor, bukan di Bandung. Sedangkan asrama yang ditetapkan dari pengurus program, akan berada di Bandung. Ini merupakan tantangan pertama sebagai peserta yang harus aku lalui selama 2 tahun mengikuti program ini nanti. Benar saja, ketika rekan-rekan lain yang berkuliah di Unpad Dipati Ukur dan ITB belum bersiap-siap untuk berangkat kuliah, saya sudah harus jalan paling pagi dari asrama, karena waktu itu bus Damri yang ada memakan waktu paling tidak 1 atau 1,5 jam dari Dipati Ukur menuju Unpad Jatinangor. Kondisi bus Damri pada waktu itu tidak bisa dibayangkan seperti bus Damri yang sudah enak seperti sekarang. Memang sih dulu harganya murah, hanya Rp 3.500 sekali jalan, tapi untuk kita angkatan sebelum tahun di mana bus-bus Damri diremajakan pasti tahu kesan-kesan selama berada di bus Damri yang dulu belum pakai AC, pintu bus juga tidak sepenuhnya tertutup, kursi plastik yang tahan banting (karena keras, tidak ada juga yang mau susah payah membanting kursi itu kali ya), dan alunan merdu nan syahdu dari Mamang-mamang penyanyi jalanan serta penjaja ‘cangcimen’ yang selalu menemani kami terjaga tatkala kami berniat untuk istirahat tidur di perjalanan. Ah, pikiran-pikiran nostalgia itu pun kembali hadir.

Sampai situ dulu pembahasan soal bus Damri nya. Jangan dilanjutkan, itu berat, kamu tak akan kuat, biar aku saja—dan mahasiswa/i angkatan tua Bandung – Jatinangor lainnya—yang merasakan.

Sebenarnya bisa dibilang kegiatan dan segenap program yang ada di asrama kami itu padat bin merayap. Ya, betapa tidak, mulai dari kegiatan-kegiatan dini hari seperti tahajud bersama, lalu dilanjutkan dengan dzikir pagi bersama, lalu dilanjutkan dengan apel pagi (menyanyikan lagu Indonesia Raya, tentunya bray), lalu dilanjutkan dengan aktivitas kuliah masing-masing. Di malam hari setiap harinya kami pun dipadatkan dengan aktivitas-aktivitas penuh faedah yang akan membuat fisik kami cukup lelah dan nyenyak beristirahat di penghujung malam.

Memang, yang namanya kegiatan pembinaan sudah sejatinya diisi oleh kegiatan-kegiatan yang memberikan nilai tamba kepada para peserta kegiatannya. Di RK ini sendiri kegiatan mulai dari pengayaan ilmu-ilmu agama, pelatihan jurnalistik, pelatihan Bahasa Inggris, kelas taekwondo, kajian keislaman, dialog dengan tokoh-tokoh terkenal, itu semua kalau dijabarkan memiliki konsekuensi padatnya jadwal yang tidak terkira. Itu pun baru dari agenda harian. Belum dihitung dari agenda bulanan, triwulan, semesteran, tahunan, dan 2 tahunan. Intinya dulu aku berpikir program RK ini kenapa padat sekali ya. Hal ini bukannya menyulitkan, namun kami para peserta sebagai mahasiswa di kampus tentunya sudah punya segudang amanah pokok untuk berkuliah (beserta tugas-tugasnya). Belum lagi perihal aktivitas organisasi masing-masing kami yang juga sudah cukup demanding di beberapa waktu. Cuma, buat aku sendiri, karena aku harus berkomuter dari Bandung ke Jatinangor, awalnya aku pikir ini cukup sulit.

Otomatis dari pihak pengurus program, membutuhkan kami untuk selalu hadir dalam setiap kegiatan yang sudah dirancang oleh mereka. Absensi kegiatan tentu akan berdampak pada KPI atau review performa dari masing-masing kami.

Namun, di sini lah merupakan sesuatu yang bisa dirasakan ketika kami para peserta sudah menjadi alumni. Di mana aku pribadi merasakan bahwa kesuksesan atau kelancaran seseorang menempuh kehidupan paska-kampus adalah terletak pada perpaduan kemampuan Hard Skills dengan Soft Skills, sehingga menghasilkan suatu Skill Set yang dapat mendukung segenap urusan pribadi untuk menjadi sukses kedepannya. Nah, di Rumah Kepemimpinan ini lah salah satu instrumen yang cukup mumpuni untuk meningkatkan kemampuan Soft Skills diri.

Sebagai seorang alumni dan sebagai seorang yang juga berkutat di bidang pendidikan dan kewirausahaan, aku merasa bahwa di Indonesia ini cukup kurang sarana atau instrumen yang tersedia guna meningkatkan Soft Skills dan dapat diakses oleh lebih banyak kalangan. Fakta bahwa angka pengangguran juga banyak yang datang dari para lulusan perguruan tinggi, menunjukkan bahwa pentingnya Soft Skill melebihi Hard Skill untuk urusan-urusan paska-kelulusan kuliah S1.

Tidak hanya sarana dan prasarana yang kurang, mentalitas ‘take things for granted’ itu juga yang berbahaya dan semakin menambah hambatan bagi insan muda khususnya di Indonesia untuk mengadopsi sebanyak mungkin Soft Skills untuk diri masing-masing. Karena sejatinya saat ini dengan kemudahan teknologi, walaupun sarana dan prasarana tadi tidak disediakan secara fisik, paling tidak ada wujud digital yang siapapun sudah dapat mengaksesnya saat ini.

Pada waktu pembinaan, kami banyak ditempa dengan diskusi-diskusi yang mengasah nalar, kami dilatih untuk bisa menulis dengan pelatihan-pelatihan jurnalistik dan menulis, kami dilatih untuk dapat berkomunikasi dengan para tokoh yang berpengaruh (dan mengambil banyak inspirasi dari mereka), kami dilatih untuk mengadakan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan, kami juga dilatih untuk menjaga kondisi badan yang prima dengan kelas taekwondo, dan tidak kalah penting kami selalu diingatkan untuk meningkatkan nilai-nilai aqidah dan akhlaq di dalam diri kami, dengan dijaga oleh Idealisme Kami yang mengukuhkan keyakinan akan cita-cita berkontribusi lebih besar terhadap masyarakat dan Bangsa Indonesia.

Kesemua itu kalau boleh meminjam istilah para pengurus RK, pembinaan ini adalah sebagai Kawah Candradimuka. Kawah Candradimuka adalah suatu tempat fiksi di mana Gatot Kaca memeroleh kekuatan dan kesaktiannya dengan berbagai macam tempaan yang ia temui di sana. Namun, bedanya, program-program yang kami alami tidaklah fiksi, dan sangat nyata.

Dalam kehidupan paska-kampus memang sebagai alumni kita dihadapkan pada berbagai macam pilihan sektor untuk dijalani. Ada sektor Publik, Privat, dan Sektor Ketiga. Dengan pilihan-pilihan tersebut, sudah barang tentu bahwa kebutuhan menguasai Soft Skills tertentu menjadi sebuah keharusan, dan bukan lagi merupakan pilihan. Adalah sesuatu yang sangat mustahil, terutama bila kita memikirkan karir maupun berwirausaha dalam jangka panjang, tapi tidak mengalokasikan diri kita untuk lebih jauh lagi terlibat dalam penguasaan Soft Skills. Hal yang aku pahami, juga diberikan ketika program pembinaan kami berlangsung, adalah kesadaran bahwa otak manusia lebih banyak bekerja dengan subconscious, atau alam bawah sadar. Sehingga, ketika kita melakukan banyak hal yang menantang dan memiliki tingkat stres yang tinggi, seberat apapun tantangannya, asalkan alam bawah sadar kita sudah terlatih untuk terbiasa, maka Insya Allah semua tantangan yang ada dapat kita selesaikan.

Hal tersebutlah menurutku yang menjadi tantangan dewasa ini mengenai peningkatan kualitas SDM Indonesia, khususnya generasi muda, mau itu milenials, Z, Alpha, Beta, Charlie atau apalah nanti definisi yang muncul. Di satu sisi, banyak materi atau sumber-sumber mengenai pengayaan Soft Skills dapat diakses via media digital, tapi hal/kemampuan tersebut belum lah teruji. Pengujian nyata dari Soft Skills tadi adalah bentuk dari How yang harus dihadapi oleh individu sehingga kemampuan kita teruji. Sehingga memang dibutuhkan sense untuk lebih proaktif dalam mengakses How tersebut.

Aku tidak mengatakan dan tidak berusaha untuk mengangkat dan menyanjung-nyanjung betapa baik atau betapa berkualitasnya program RK ini. Kalau kesan yang ditangkap dari tulisan ini seperti itu, maka inilah disclaimer aku.

Hal lain yang senantiasa diajarkan oleh para guru kami di Rumah Kepemimpinan adalah mengenai penyikapan moderat untuk setiap kesempatan. Dalam hal ini menurutku, moderat bukan berarti tidak mengambil sikap, justru bersikap moderat itu adalah pengambilan sikap atas jawaban dari fenomena ekstrimitas pengkubuan (bisa dikatakan sebagai ashobiyyah) yang berlebihan. Aku tidak akan masuk ke dalam pembahasan Fiqh mengenai hal ini, karena  itu bukan bidang kepakaran yang aku kuasai.

Dalam pengajaran guru-guru kami, kami dikenalkan dan “dicekoki” dengan jargon ROOM, yaitu sebuah akronim yang dapat dengan mudah dipahami. Kepanjangan dari ROOM ini adalah Rendah hati, Open mind, Objektif, dan Moderat. Seakan memaksakan akronim, tapi itulah yang menjadi intisari dari program pembinaan kami.

Apalagi dewasa ini kita banyak sekali disuguhkan dengan fenomena ekstrimitas yang dilicinkan dengan anonimitas melalui media sosial. Suatu media pertempuran semu yang bila tidak dikelola dengan baik oleh pengguna, maka menurutku akan lebih banyak menimbulkan mudharat ketimbang maslahat. Namun, aku pribadi tidak terlalu heran dengan ekstrimitas yang terjadi di medan pertempuran semu tersebut. Karena toh memang hal tersebut biasa terjadi tatkala pada kenyataannya SDM di Indonesia tidak terbiasa untuk mengolah pikir untuk mengalihkan perhatian dari kekubuan ekstrim kepada sikap yang moderat.

Banyak hal yang merupakan representasi dari sikap moderat. Artinya bahwa penyikapan yang tidak berlebihan dari berbagai macam fenomena. Terutama ketika tulisan ini dibuat yaitu momen Pilpres 2019. Sikap yang moderat dalam momen (apalagi) Pilpres ini sangatlah dibutuhkan. Demokrasi memang suatu pendekatan bermasyarakat yang memungkinkan siapapun untuk bisa berpendapat secara leluasa, namun untuk menjadikan pendapat kita merupakan sesuatu yang bermutu, tidak berlebihan, dan bertanggung jawab adalah suatu bahasan lain.

Momentum Pilpres merupakan momentum di mana suatu sikap moderat diperlukan. Memang, kesemua ini sangat dipengaruhi oleh noice dan bukan voice, yang berasal dari media sosial yang entah mungkin itu hanya ulah sekelompok orang yang seakan-akan hal tersebut menjadi sesuatu yang mencekam, membahayakan, dan sebagainya. Padahal itu hanya ‘for the sake of anonymous efforts’ yang dijalankan untuk membuat suasana pikiran menjadi tidak baik. Padahal dalam konteks ini, demokrasi dan bernegara sangatlah membutuhkan kedamaian dan kejernihan dalam berpikir. Yaitu dapat dimulai dengan memiliki sikap moderat.

Dalam hal ini ROOM yang menjadi jargon guru-guru kami yang diajarkan kepada kami, sangatlah relevan. Karena generasi milenials dan setelahnya menghadapi kondisi dunia yang sudah lebih borderless. Akan sangat melelahkan bagi individu yang tidak bisa berpikir ROOM menghadapi sekelumit hal yang terjadi baik itu di lingkungan terdekat maupun di lingkungan global yang informasi nya sudah sangat mudah untuk diakses di mana pun kita berada.

Dengan semangat dan sistem yang sedang dibentuk oleh Rumah Kepemimpinan, diharapkan lebih banyak lagi muncul insan SDM Indonesia yang dapat memiliki cara berpikir ROOM tadi. Ambil lah contoh dari pengalamanku sebagai alumni D2 dan S2 di Tiongkok, dengan juga pengalaman kerja 1 tahun, yang berarti aku telah menghabiskan 5 tahun hidupku di negeri yang kata orang Tirai Bambu. Pada awalnya siapa juga yang paham dan “mengerti” apa, siapa, dan bagaimana Tiongkok itu. Namun, dengan apapun yang terjadi di pra-keberangkatan dan setelah aku sampai di Beijing, aku pikir tidak ada hal yang perlu ditakuti. Benar saja, sesampainya aku di Tiongkok, hal-hal yang aku dengar mengenai negara tersebut, tidak sepenuhnya benar dan riil seperti yang aku temui langsung. Bayangkan kalau aku tidak bertemu guru-guru kami di Rumah Kepemimpinan, mungkin aku akan terhalang pikiran yang terus-menerus takut untuk menatap masa depan ku sendiri.

Aku sendiri tidak bisa membayangkan apabila hal-hal yang “menakutkan” tadi terus menghantui pikiran aku untuk maju. Bisa jadi aku pada saat ini akan ngedumel sendiri karena ketakutan-ketakutan yang dibuat-buat. Aku tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau aku menjadi individu yang tidak bisa mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan lain atas peluang yang mencerahkan.

Betapa tidak, bisa dibayangkan bagaimana rasanya kita dihadapkan untuk berada di tengah-tengah masyarakat yang kita asing (atau aseng?) terhadapnya. Bagaimana tata kelakuan masyarakat di Tiongkok, norma-norma sosial, bagaimana berinteraksi dengan rekan Tiongkok lokal maupun dari berbagai macam negara, dan sebagainya. Dengan mempersiapkan diriku yang telah melewati program Rumah Kepemimpinan, mengasah dan meningkatkan Soft Skills yang aku miliki, merupakan suatu pencapaian yang luar biasa yang aku tidak tahu apakah ada kesempatan seperti itu lagi kedepannya. Kenapa? Karena peningkatan kapasitas diri adalah sesuatu yang kontinyu, bukan sesuatu yang kita rasakan cukup, lalu kita berhenti.

Alhamdulillah kesemua yang diajarkan para guru kami sangatlah bermanfaat paling tidak untuk diriku sendiri survive membangun kemampuan diri hingga saat ini.

 

2 thoughts on “Menjadi Alumni Rumah Kepemimpinan, Gimana Rasanya?

  1. kehidupan yg sama aq lalui demi S1.. menguras tenaga dan fikiran dan fisik stand by dalam keadaan prima.. baca cerita kamu membuat aq flashvback lagi.. thank u for sharing..folliw instagram aq ya..@zikria_budiman

    Like

Leave a reply to zikria Cancel reply