Kalau rekan-rekan memiliki gejala yang sama dengan apa yang sedang saya jalankan sekarang ini.
Saya sedang menjalankan usaha kafe yang tidak jauh dari rumah saya di Depok. Saya sengaja tidak menyebutkan nama kafenya, karena terus terang saya kurang puas dengan pencapaian kafe yang diminta dibikin oleh Bapak saya ini. Bukan masalah mengeluhnya, tapi sedari awal saya pribadi tidak sreg untuk membuka kafe di ruko 2 lantai yang lokasinya kurang strategis. Tapi namanya juga orang tua di Indonesia, kalau mereka mendengarkan pendapat anaknya, itu adalah suatu keajaiban, bukan?
Sebelumnya, kafe yang saya jalani sejak akhir Agustus 2019 ini bertemakan fun eat dan fun drinks. Saya sengaja tidak membuka kafe ini menjadi coffee shop, hal ini karena ada rekan yang saya sering berkonsultasi pre-opening, adalah teman saya sejak SMA yang juga memiliki coffee shop yang sudah dia jalani hampir 5 tahun. Otomatis, karena dari segi letak cukup berdekatan, maka saya memutuskan tidak membuka coffee shop untuk menghormati pertemanan kami sejak SMA tadi.
Yang dijual di kafe tersebut adalah thai tea, minuman kekinian, roti kukus-panggang, Indomie goreng dengan topping, small bites, juga menu nasi sambal matah yang sederhana. Alasan saya memilih konsep non-coffee shop ini juga dilatarbelakangi oleh kenyataan letak gedung ruko yang berdekatan dengan sekolahan. Otomatis, ini juga menjadi pembeda dari segmentasi pasar yang nanti akan coba saya bahas di poin selanjutnya.
Saya mencoba untuk share pengalaman dan cerita ini, di luar tulisan-tulisan saya yang lain di blog ini, dengan harapan kalau ada rekan-rekan yang berkeinginan untuk membuka usaha kafe atau coffee shop, agar tidak mengulangi permasalahan yang sama di kemudian hari.
Pertama, dari segi lokasi, usaha kafe sangat bertumpu pada lokasi. Lokasi, lokasi, dan lokasi, itu poin marketing yang terpenting sebelum kita berdiskusi dengan poin-poin berikutnya. Sebagus apapun kita memanfaatkan digital marketing, untuk urusan bisnis kafe ini sendiri menurut saya masih cukup manual. Dalam artian, pasar lokal lah yang lebih bermain, ketimbang berapa banyak klik atau view yang bisa kita dapatkan ketika kita beriklan di Instagram atau Facebook. Digital marketing untuk kafe non-franchise seperti yang saya jalani ini lebih kepada komplementer.
Pasar lokal perlu diedukasi mengenai keberadaan kafe yang kita buka. Hal ini bisa diamati dari letak bangunan kafe, apakah didekat jalanan besar, jalan protokol, gang sempit, atau seperti apa. Jangan percaya dengan ucapan-ucapan yang memberikan kita angin surga semu. Banyak yang bilang tidak penting lokasi, banyak orang usaha makanan/minuman yang lokasi di gang tapi tetap dicari orang. No. Itu hoax. Dan lokasi-lokasi yang seperti itu kalau dikumpulkan se-Indonesia, perbandingannya dengan jumlah bisnis kafe/rumah makan/restoran, berapa sih paling? Bisa 1 banding 500.000 ya mungkin, atau 1 banding 1 juta. Impossible.
Kalau dari kafe saya sendiri, lokasi berada di jalan yang sepanjang 50 meter persis di depannya itu hanya hidup 1 sisi. Dalam artian, di seberang jalan dari lokasi kafe saya adalah pabrik yang tidak ada kehidupan. Orang pabrik engga jajan di kafe, memang begitu kenyataannya. Dibandingkan 1 jalan yang paralel juga ga jauh dari kafe saya, 2 sisi jalanan semuanya hidup. Dan yang saya amati selama 6 bulan ini beberapa kafe buka hampir bersamaan, tetap paling tidak bergairah untuk segi pengunjung.
Memang, kalau kita berinvestasi atau mengontrak lokasi usaha semuanya tergantung modalnya. Tapi berdasarkan pengalaman yang sedang saya jalani, lebih baik berinvestasi lebih untuk lokasi yang lebih prima, dibandingkan menghitung modal kontrak murah di lokasi yang kurang strategis.
Salah satu hal yang saya sudah amati juga dari awal adalah akan adanya 1 coffee shop dan 1 tempat makan taichan. 2 lokasi ini jaraknya tidak jauh, cuma 60an meter dari kafe saya. Dari awal saya sudah mengamati kalaulah 2 lokasi tersebut tidak begitu laku, dan malah cenderung tidak punya jam buka kafe yang pasti. Apalagi sewaktu menjalani kafe sendiri yang letaknya tidak berjauhan dari 2 kafe itu, saya pikir sudah sewajarnya kalau lokasi yang ditentukan oleh Bapak saya tidak cocok untuk buka kafe.
Apalagi, dari segi lokasi yang bersebelahan dengan sekolah, akan menjadi suatu keniscayaan apabila sekolah libur, maka kafe akan terkena dampaknya. Dampak lumayan ketika libur sekolah akhir tahun. Sebagai ilustrasi ada 1 hari omzet yang hanya mencapai 100 ribuan Rupiah saja. 100 Ribuan rupiah, alamak! Mati awak!
Kedua, pricing juga menjadi satu ganjalan. Di mana saya untuk thai tea mengambil franchise yang tidak bisa saya sebutkan namanya, memiliki harga normal yang ketinggian, yaitu di angka 20-30 ribu per cup. Memang awalnya saya yang kegeeran juga berani-berani nya ambil franchise tersebut. Tapi ternyata dengan kisaran harga mall, sama sekali tidak cocok untuk lokasi di mana kafe saya berada. Alhasil saya harus berani potong harga dengan konsekuensi menipisnya margin.
Untuk produk roti kukus-panggang tidak ada masalah, saya juga mengambil franchise. Dari segi harga produk cukup cocok, namun lagi-lagi karena lokasi yang agak sepi, pendapatan untuk produk roti yang tadinya tinggi, lama-kelamaan berangsur turun.
Untuk produk makanan lainnya, saya sesuaikan dengan kondisi pasar harga yang ada. Terus terang untuk bisnis kafe agak sulit, karena daerah itu sudah banyak abang-abang gerobak yang jual bermacam jajanan, jaraknya hanya 100an meter dari kafe saya. Dengan berkumpulnya tukang jajanan yang memiliki segmentasi harga yang sangat terjangkau, otomatis, dari segi penampakan saja segmentasi pasar yang ada pasti akan menjauh duluan ketika melihat ruko yang cukup fancy, mereka sudah berpikiran bahwa harga produk yang dijual cukup tinggi.
Sehingga, urusan pricing balik lagi ke faktor pertama.
Ketiga, produk dan operasional. Awalnya memang ruko yang sudah jadi hak milik ini didesain sedemikian rupa sebagai kafe yang nyaman. Oleh karena itu waktu merencanakan style dan look kafe ini, saya menggandeng teman yang memang biasa mengerjakan desain interior kafe. Look nya jelas presentable, style nya fancy. Tapi itu lah awal dari kesalahan yang kemudian berlipat.
Dengan produk jangkar (anchor product) yang saya punya yaitu thai tea dan roti kukus-panggang, saya mengharapkan betul dengan franchise, maka akan lebih banyak konsumen yang mengetahui produk yang kita jual. Karena toh kalau mau membuat produk sendiri, otomatis banyak promosi yang harus kita keluarkan guna mengedukasi konsumen mengenai produk kita.
Namun, gairah dan daya beli konsumen di lokasi tidaklah sebagus teorinya. Apalagi dengan kondisi ruko yang 2 lantai, maka konsekuensi operasional secara biaya makin membengkak. Biaya listrik dan air merupakan 2 biaya operasional yang memang cukup besar. Dengan kategorisasi ruko komersil, penetapan kategori biaya air per unit kubik nya jauh lebih mahal ketimbang rumah-rumah biasa.
Comat-comot produk yang dijual sudah juga dilakukan beberapa kali. Awalnya ada ice cream merek Aice yang digandrungi oleh anak-anak sekolahan. Namun, karena minimum restock nya kurang masuk akal, jadi saya menyudahi penjualan Aice.
Pernah juga produk BBQ murah-meriah disajikan. Harganya flat di angka 5.000 rupiah per porsi yang bisa diambil sesuai kemauan konsumen. Tapi kalau dari benak konsumen, mungkin menu BBQ terlalu gado-gado dan ga cocok dengan look kafe yang beda dengan tempat makan BBQ yang sebenarnya. Alhasil, menu BBQ sepi peminat, dan harus ditarik. Padahal waktu itu saya sudah investasi 6 unit kompor portable beserta alat panggangnya.
Secara operasional, karena di lantai 2 kafe, saya coba untuk kasih sesuatu yang beda, saya bikinkan pojok main anak yang berisikan bola-bola plastik. Namun, karena perilaku konsumen-konsumen yang tidak bertanggung jawab, yang seharusnya “kolam” bola-bola plastik itu diperuntukkan untuk anak usia paling besar 6 tahunan, malah dimainkan oleh konsumen yang berusia SMA. Jengkel iya, bola-bola rusak iya. Bukan main!
Kesalahan saya juga mengenai finansial operasional yaitu ketika awal-awal buka, karena kebutuhan kafe ruko 2 lantai cukup banyak, saya memberanikan diri untuk nekat mengambil kredit untuk beberapa produk seperti kulkas showcase, perlengkapan dekorasi, speaker Sony, dan beberapa peralatan lainnya. Cuma ini diakui cukup menjadi beban pembiayaan dari omzet bulanan.
Keempat, promosi. Dari sejak awal berjalannya kafe ini, saya sudah melemparkan promosi utamanya via Instagram. Karena Instagram cukup banyak penggemar dari segmentasi produk yang saya miliki, pada awalnya cukup untuk mengangkat omzet. Tapi, seiring berjalannya waktu, alokasi operasional dialihkan untuk aktivitas lain, maka promosi berhenti sampai di bulan November 2019 saja.
Selain promosi online, ketika awal buka kafe, saya sudah mengkoordinasikan supaya anak-anak pegawai menyebarkan pamflet ke rumah-rumah warga yang ada di radius 1km dari kafe. Walaupun tidak semua tersebar, tapi paling tidak dengan karakteristik pasar yang juga kebanyakan adalah perumahan-perumahan lama, dan disinyalir memiliki anggota keluarga yang sudah sepuh, maka untuk hanya mengandalkan promosi via media sosial tidaklah cukup. Blast dengan menggunakan Whatsapp juga senantiasa dilakukan, apabila untuk kalangan konsumen yang tidak menggunakan media sosial, dan/atau konsumen yang nomornya sudah tercatat sebagai partner.
Kelima, kompetitor. Urusan kompetitor baik lama maupun baru ini memang cukup berpengaruh. Dengan kondisi jalan protokol Akses UI yang berada di depan jalan masuk ke kafe, menjadikan lokasi yang tidak berada di Akses UI cukup kewalahan bersaing dengan entitas bisnis kafe atau FnB di sana. Apalagi mungkin 300 meter dari lokasi kafe saya, ada Starbucks Akses UI, yang juga itu berpotensi merusak pasar kafe setempat.
Untuk persaingan dekat, selain 2 kafe/tempat makan yang sudah disebutkan di atas, baru-baru ini muncul 2 kafe kecil, yang juga berjarak 100 meteran cuma berada di arah yang berbeda dengan 2 tadi. Paling tidak ada 4 kompetitor. Hanya saja memang kalau dihitung dari radius lebih besar, yaitu 1km, maka bisa saya taksir jumlah kompetitor bisa di angka 200an kafe. Ya, kembali lagi ke perihal lokasi di awal. Sudahlah lokasi kafe yang dipaksakan dan sepi, ditambah lagi kondisi persaingan yang cukup berat.
Walaupun di dekat lokasi kafe ada kampus Gunadarma, tapi di sekitar kampus Gunadarma sendiri pun sudah banyak berdiri kafe atau coffee shop, Richeese, McD, Pizza Hut, dan Dominos Pizza. Dengan kehadiran brand-brand besar seperti itu, otomatis akan menjadi penyaing dari konsep fun eat dan fun drink yang kafe saya miliki.
Ditambah juga di sekitar lingkungan muncul beberapa coffee shop yang memanfaatkan rumah. Entah itu rumah mengontrak, atau punya sendiri yang disulap menjadi kafe garasi, cukup menyedot konsumen yang ada di area lingkungan.
Keenam, pegawai. Pada awal buka kafe, terus terang saya salah langkah, parah. Kebanyakan menghire pegawai itu beban yang luar biasa. Awalnya kafe saya buka dari jam 6 pagi dan tutup jam 11 malam, bahkan sering baru benar-benar closing itu jam 12 malam. Tapi, konsekuensinya, anak-anak harus dihire lebih untuk bisa ada 2 shift, seperti pabrik? Iya. Total waktu awal buka itu ada 12 orang. Kebayang ya beban gaji nya berapa. Setelah belepotan sekitar 2 bulan 7 hari dengan beban gaji yang fantastis, pada bulan November 2019 saya memutuskan untuk hanya mempekerjakan 5 orang pegawai. Walaupun tidak bisa lagi buka dari jam 6 pagi, tapi paling tidak memang ongkos gaji pegawainya bisa dikurangi. Namun, 40% dari omzet hilang dari ketika buka jam 6 pagi dengan buka secara konservatif: siang.
Untuk di bulan Februari saya akan hanya menghire 4 pegawai untuk melakukan penghematan lanjutan.
Ketujuh, kesimpulannya, saya pribadi sebagai pelaksana harian kafe cukup merasa malu dan gagal dalam menjalani keseharian bisnis kafe yang dipaksakan. Dalam beberapa bulan keberlangsungan kafe ini, belum pernah sekalipun menyentuh profit. Tombokan yang jumlahnya tidak sedikit setiap bulannya sudah menjadi sesuatu yang dijadikan biasa. Saya sama sekali tidak bangga dengan ini. Tapi mudah-mudahan di bulan Februari, Maret dan seterusnya kafe kami bisa menemui titik profit. Karena kalau tidak, menutup usaha yang kita bangun dari nol, sepertinya akan cukup berat dan merupakan beban mental yang akan jadi beban seumur hidup.
Tapi, di samping potensi kegagalan kafe ini, saya cuma jadi berpikir. Daripada bisnis kafe, lebih baik bisnis kios sayur-mayur, warteg, angkringan, ayam goreng KFC yang lagi menjamur, kios buah musiman. Kapok se kapok kapoknya saya berbisnis sesuatu yang fancy, bagus secara konsep dan teori, tapi hancur berantakan di sisi penerapan.
Jangan sekali-kali berbisnis kafe kalau gejala-gejala yang rekan-rekan temui mirip dengan apa yang saya telah alami paling tidak selama 6 bulan mengoperasikan kafe ini. Lihat tren pasar secara lebih jeli. Lihat di mana receh-receh bertebaran, tapi kalau potensi cuan nya bisa harian, lebih baik lakukan itu saja. Hindari juga biaya dari membayar bulanan pegawai yang jumlahnya terlalu banyak. Pada awal buka kafe saya terlalu idealis.
Sukses untuk kita semua.
bisnis yang terbaik adalah usaha yang telah dilakukan
LikeLike
[…] memang soal satu ini sudah pernah saya tulis di https://fathansembiring.wordpress.com/2020/01/26/1754/ beberapa waktu lalu. Intinya memang berbisnis itu cukup cocok-cocokan dengan karakter kita. Tapi […]
LikeLike